BRIEF.ID – Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) meluncurkan Obligasi Patriot yang penawarannya membidik konglomerat nasional dengan target penghimpunan dana sebesar US$3,1 miliar atau setara Rp50 triliun.
Berdasarkan dokumen resmi, Danantara menegaskan bahwa penerbitan Obligasi Patriot merupakan bagian dari pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan, yang menekankan kolaborasi antara sektor publik dan swasta.
Skema ini diharapkan dapat menciptakan pembiayaan terdiversifikasi bagi proyek-proyek nasional, tidak hanya bersumber dari dividen BUMN, tetapi juga pinjaman bank, investasi bersama, dan partisipasi swasta.
Hasil penghimpunan dana dari obligasi tersebut akan dialokasikan ke berbagai sektor strategis, termasuk transisi energi, peningkatan produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan program perlindungan lingkungan.
Berbeda dengan obligasi korporasi pada umumnya, Obligasi Patriot ditawarkan dengan tingkat kupon yang berada di bawah suku bunga pasar.
Menurut sumber, dana yang dihimpun dari Obligasi Patriot ditargetkan mencapai US$3,1 miliar atau Rp50 triliun dengan dengan imbal hasil (yield) di bawah pasar. Mandiri Sekuritas akan mengelola penjualan tersebut.
Disebutkan, Danantara berencana menerbitkan Obligasi Patriot dalam dua tenor, yakni 5 tahun dan 7 tahun, dengan nilai masing-masing Rp25 triliun dengan kupon sebesar 2%, pada 1 Oktober 2025.
Dengan demikian, besaran imbal hasil Obligasi Patriot kurang dari setengah suku bunga acuan Bank Indonesia dan imbal hasil obligasi pemerintah yang berada di kisaran 5,8% dan 6,1%.
Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, mengatakan Obligasi Patriot merupakan instrumen pembiayaan strategis yang lazim digunakan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Tiongkok, bahkan negara tetangga seperti Vietnam.
Tujuannya untuk memperkuat kemandirian pembiayaan nasional, karena negara dapat memperoleh sumber pendanaan jangka menengah-panjang yang stabil, sementara pelaku usaha memiliki akses pada instrumen investasi yang aman dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Pada 1992, Tiongkok dengan kebijakan reformasi Deng Xiaoping sejak 1978 berhasil membuka diri terhadap perdagangan, modal, dan teknologi, yang kemudian memicu pertumbuhan PDB hingga 14,3%.
Sedangkan Vietnam melalui kebijakan Doi Moi pada 1986 juga mereformasi sistem ekonomi pasca perang, melegalkan bisnis swasta, dan menekan BUMN menjadi lebih efisien. Hasilnya, tingkat kemiskinan di Vietnam turun dari lebih 70% menjadi kurang dari 6% hanya dalam satu generasi.
“Prinsip dasar Patriot Bond adalah partisipasi sukarela dan tanggung jawab bersama. Skema ini membuka ruang bagi kelompok usaha nasional untuk berkontribusi pada agenda pembangunan lintas generasi, sekaligus memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat,” kata Pandu.
Danantara didirikan pada awal 2025 dan aset kelolaannya terutama berasal dari dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Total aset Danantara dilaporkan mencapai US$1 triliun, dan mengawasi hampir 900 perusahaan negara.
Hingga pertengahan tahun 2025, Danantara disebut telah memperoleh investasi senilai Rp 179,05 triliun. Danantara juga telah menjalin kemitraan investasi dengan 3 lembaga sovereign wealth fund (SWF) dengan Qatar Investment Authority (QIA), Future Fund Australia, dan China Investment Corporation (CIC). (jea)