BRIEF.ID – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai paradoks kebijakan makroekonomi Indonesia cenderung stabil tapi stagnan, bahkan cenderung mengkhawatirkan.
Selama bertahun-tahun, Indonesia terjebak dalam paradoks makroekonomi yang membingungkan. Meskipun postur fiskal pemerintah ekspansif dan Bank Indonesia (BI) melakukan akumulasi obligasi pemerintah (SBN) yang luar biasa, pertumbuhan ekonomi tetap stagnan di kisaran 5%.
Inflasi memang terkendali, namun di sisi lain rupiah menghadapi tekanan depresiasi yang berkelanjutan, dan penciptaan lapangan kerja tetap lamban.
Di permukaan, hal ini tampak kontradiktif: jika instrumen fiskal dan moneter digunakan, bukankah pertumbuhan seharusnya dipercepat? Namun dalam kasus Indonesia, arsitektur koordinasi kebijakan makroekonomi itu sendiri menunjukkan ketegangan di balik permukaan.
Akselerasi Fiskal, Pengereman Moneter
Sejak krisis COVID-19, sikap fiskal Indonesia tetap ekspansif. Menyusul langkah-langkah darurat pada tahun 2020-2022, pemerintah mempertahankan belanja publik tinggi.
Hal itu, bertujuan mempertahankan pemulihan dan membiayai program-program populis, termasuk pembangunan infrastruktur dan inisiatif-inisiatif yang populer secara politis seperti subsidi energi dan makanan sekolah gratis.
Kondisi ini, membuat defisit anggaran berkisar antara 2,5% sampai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang terutama dibiayai oleh penerbitan surat berharga negara (SBN).
Selama ini, BI selalu turun tangan sebagai pembeli terakhir untuk mendukung stabilitas pasar dan membantu menyerap penerbitan ini. Hingga Maret 2025, BI memegang lebih dari Rp1.600 triliun SBN, setara dengan sekitar 26 persen dari SBN yang dapat diperdagangkan dan 8% dari PDB.
Meskipun hal ini dibenarkan selama pandemi di bawah kerangka pembagian beban, pembelian SBN BI yang berkelanjutan selama masa normal menimbulkan kekhawatiran kebijakan yang kritis.
Paradoksnya, BI telah mempertahankan sikap ketat, mempertahankan suku bunga kebijakan relatif tinggi di sekitar 5,25% – 6% dan mensterilkan likuiditas melalui instrumen seperti SRBI dan reverse repo, yang secara efektif mengimbangi dampak pembelian obligasinya.
Alih-alih ekspansif, langkah-langkah ini bersifat defensif, bertujuan untuk mengendalikan inflasi, menstabilkan rupiah, dan menjaga kredibilitas. Dengan demikian, efek bersih dari kerangka ekonomi makro Indonesia adalah kontradiksi kebijakan: menekan gas dan rem secara bersamaan.
Lengan fiskal menginjak gas, tetapi lengan moneter menginjak rem. Tidak mengherankan, dinamika tarik-ulur ini menghasilkan hasil yang kurang memuaskan.
Perekonomian terus tumbuh, meskipun dengan laju yang lebih lambat. Konsumsi rumah tangga, pendorong utama PDB Indonesia, masih tertahan oleh biaya pinjaman yang tinggi dan upah riil yang stagnan.
Investasi swasta juga melemah karena banyak bisnis masih ragu untuk memperluas kapasitas atau merekrut secara agresif karena suku bunga yang tinggi, permintaan yang tidak pasti, dan penghindaran risiko di antara para pemberi pinjaman.
Meskipun investasi publik terus berlanjut, hal tersebut belum menghasilkan efek pengganda yang signifikan. Singkatnya, ekspansi fiskal belum menghasilkan permintaan yang kuat. Meskipun suntikan fiskal yang besar, dorongan permintaan secara keseluruhan masih lemah, sebagian karena efek crowding-out dan kapasitas penyerapan yang rendah.
Kendala Eksternal, Dilema Internal
Memburuknya posisi eksternal Indonesia semakin memperparah tantangan ini. Setelah surplus singkat selama lonjakan komoditas 2021-2022, penurunan harga batu bara dan minyak sawit, ditambah dengan permintaan impor yang kuat, menyebabkan neraca transaksi berjalan kembali defisit pada tahun 2023.
Arus keluar modal, yang didorong oleh selisih suku bunga AS dan ketegangan geopolitik, telah menekan nilai tukar rupiah, yang terkadang menembus Rp16.850 per dolar.
Dalam konteks ini, BI tentu saja memprioritaskan stabilitas nilai tukar, sehingga membatasi ruang untuk penurunan suku bunga atau pelonggaran likuiditas. Kedua Kondisi ini membuat kebijakan moneter terhambat.
Bak makan buah simalakama, di satu sisi BI ingin mengurangi risiko pelarian modal, depresiasi mata uang, dan inflasi impor, tapi mempertahankan suku bunga tinggi justru melemahkan permintaan domestik dan mengurangi dampak stimulus fiskal.
Singkatnya, kerentanan eksternal negara ini membatasi kemampuan BI untuk mendukung pertumbuhan melalui likuiditas atau penurunan suku bunga. Meskipun pembelian obligasi BI menyuntikkan likuiditas, sterilisasi dengan cepat menetralkannya.
Selain itu, bank masih menghindari risiko, permintaan kredit lemah, dan pelaku usaha lebih memilih menyimpan dana di instrumen BI daripada berinvestasi di ekonomi riil. Dengan biaya pinjaman yang tinggi dan ketidakpastian, uang berlimpah tetapi beredar lambat, sehingga menciptakan perangkap likuiditas.
Meskipun neraca keuangan sehat, transmisi ke ekonomi riil lemah. Indonesia berisiko terjebak dalam ekuilibrium pertumbuhan rendah dan inflasi rendah: stabil, tetapi stagnan.
Menjaga Independensi Bank Sentral
Di tengah upaya penyeimbangan makroekonomi yang kompleks ini, menjaga independensi Bank Indonesia menjadi lebih penting dari sebelumnya.
Kredibilitas BI sebagai bank sentral yang independen, yang berfokus pada menjaga stabilitas harga dan mengelola nilai tukar, telah membantu menopang ekspektasi dan meyakinkan kepercayaan pasar.
Keengganan BI untuk memonetisasi defisit fiskal secara berlebihan, dikombinasikan dengan komitmennya untuk mensterilkan likuiditas dari pembelian SBN, mencerminkan independensinya yang berkelanjutan, yang memprioritaskan stabilitas makroekonomi di atas kenyamanan politik jangka pendek.
Perlindungan ini telah melindungi perekonomian dari pemanasan berlebih dan volatilitas mata uang yang berlebihan. Namun, ketergantungan berkelanjutan pada BI untuk menyerap obligasi pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar sekunder, menimbulkan risiko jangka panjang, yang secara bertahap mengikis independensinya.
Hal ini mengaburkan batas antara fiskal dan moneter, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan dominasi fiskal. Jika pasar memandang BI sebagai perpanjangan tangan pembiayaan pemerintah, ekspektasi inflasi dapat meningkat seiring dengan premi risiko investor atas aset Indonesia.
Independensi BI, dalam hal ini, bukan sekadar konsep hukum; melainkan fondasi kredibilitas makroekonomi. Namun, saat ini, pengelolaan makroekonomi Indonesia tidak menghadapi krisis kapasitas, melainkan krisis koordinasi.
Otoritas fiskal dan moneter menjalankan mandat yang terpisah, dengan pertumbuhan di satu sisi dan stabilitas di sisi lain, sehingga menghasilkan sedikit keselarasan.
Tanpa strategi bersama, upaya mereka berisiko saling bertentangan. Untuk itu, yang dibutuhkan bukan hanya koordinasi, tetapi koherensi strategis: peran yang jelas, tujuan yang disepakati, dan batasan yang jelas.
Dari Stabilitas Menuju Kemajuan
Ke depannya, beberapa koreksi arah diperlukan. Pertama, koordinasi fiskal dan moneter harus selaras dengan tujuan jangka menengah, bukan hanya respons krisis. Jika BI terus mendukung pembiayaan SBN, strategi keluar yang kredibel dan batasan kuantitatif harus diterapkan untuk menghindari persepsi dominasi fiskal.
Kedua, kebijakan fiskal harus bergeser dari populisme yang bertumpu pada konsumsi menuju investasi yang meningkatkan produktivitas, dengan berfokus pada barang publik yang memungkinkan dinamisme sektor swasta, seperti kepastian hukum, infrastruktur logistik, dan transformasi digital.
Prioritasnya adalah mendorong investasi swasta, bukan mendorong keluarnya investasi swasta. Ketiga, jika inflasi tetap terkendali dan kondisi eksternal memungkinkan, BI dapat mempertimbangkan pelonggaran bertahap dan hati-hati untuk mendukung permintaan, tanpa mengorbankan stabilitas mata uang dan kepercayaan pasar.
Akhirnya, reformasi struktural yang lebih mendalam, terutama dalam administrasi perpajakan, fleksibilitas tenaga kerja, dan daya saing manufaktur, harus dihidupkan kembali untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan Indonesia, serta mengangkat negara ini keluar dari inersia pendapatan menengahnya.
Singkatnya, Indonesia tidak sedang dalam krisis, melainkan terjebak: perangkap pendapatan menengah, pertumbuhan menengah, dan makro yang dikelola. Stabilitas memang terjaga, tetapi kurang dimanfaatkan.
Hal ini bukan mencerminkan kurangnya perangkat kebijakan, melainkan kurangnya koordinasi dan arahan strategis. Untuk bergerak maju, Indonesia harus menyelaraskan ambisi fiskal dengan disiplin moneter.
Tanpa koherensi tersebut, Indonesia berisiko tetap stabil tetapi terhambat.*Deni Friawan: Peneliti Senior, Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia