BRIEF.ID – Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2025 berada di level 4,6% – 4,8%. Angka tersebut di bawah perkiraan pemerintah yang berada di level 4,7%-5%.
Proyeksi peneliti CORE Indonesia tersebut dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi di dalam negeri dan risiko ekonomi global. Di sisi lain, CORE Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2025 melambat ke kisaran 4,7% – 4,8%, turun dari 4,87% pada kuartal I/2025.
Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah, dinyatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Selasa, 1 Juli 2025 lalu. Proyeksi tersebut turun dari sebelumnya yang ditargetkan pemerintah mencapai 5,2% tahun ini.
Terkait pertumbuhan ekonomi tersebut, peneliti CORE menilai pengenaan tarif resiprokal sebesar 19% membuat Indonesia harus menanggung beban komitmen komersial senilai Rp368 triliun. Hal itu termasuk pembelian 50 pesawat Boeing.
“Penerapan tarif resiprokal 19% akan memotong volume ekspor Indonesia ke pasar dunia kurang lebih 2,65%. Sementara daya saing Indonesia tertinggal dari negara pesaing seperti Vietnam,” tulis peneliti CORE Indonesia dalam Mid-Year Economic Review 2025 yang dirilis pada Kamis (24/07).
Sementara itu di dalam negeri, Indeks Penjualan Riil hanya tumbuh 1,2%. Persentase ini hanya separuh dari kuartal sebelumnya. Indeks Keyakinan Konsumen pun terkontraksi -5,1%, dan proporsi tabungan rumah tangga turun dari 16,6% menjadi 14,6%. Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) yang melonjak 27,7% juga menjadi masalah. Sebabnya, memaksa masyarakat menggerus tabungan untuk konsumsi dasar.
Dorong Pertumbuhan
Untuk itu, peneliti CORE Indonesia menyebut dalam waktu kurang dari enam bulan ke depan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis yang terfokus untuk mempercepat pemulihan dan menjaga momentum pertumbuhan. Pertama, pemerintah perlu memperluas dan memperpanjang paket stimulus ekonomi.
“Program bantuan tunai langsung perlu diperluas jangkauannya untuk menjangkau lebih banyak rumah tangga menengah ke bawah. Dengan fokus khusus pada pemulihan kemampuan konsumsi makanan pokok,” kata peneliti CORE dalam laporannya.
Pemerintah juga bisa mempertimbangkan kebijakan diskon tarif Listrik, mengingat biaya listrik menyumbang rata-rata 10% pengeluaran rumah tangga Indonesia. Kedua, pemerintah dapat membuka opsi insentif bersyarat.
Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang tidak melakukan PHK. Insentif akan berupa keringanan pajak penghasilan badan, subsidi upah karyawan, atau akses kredit berbunga rendah. Hal tersebut perlu juga diiringi dengan program padat karya di sektor infrastruktur dan layanan publik.
Dengan demikian dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menyerap 11,1 juta pekerja informal yang kehilangan kesempatan kerja layak. Ketiga, percepat eksekusi belanja pemerintah yang bersifat strategis.
Terkait ini pemerintah perlu membentuk fiscal delivery task force lintas kementerian/lembaga guna mengatasi berbagai hambatan dalam realisasi anggaran. Selain itu, insentif kinerja dan pelaporan berbasis hasil perlu diintegrasikan ke dalam mekanisme penganggaran agar belanja prioritas dapat terealisasi lebih cepat dan tepat sasaran.
Keempat, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan pemetaan sektoral terhadap hambatan non-tarif (NTM) Indonesia. “Hal ini perlu dilakukan sebelum menerapkan penghapusan NTM secara selektif untuk produk asal Amerika Serikat. Penghapusan tersebut harus didasarkan pada prinsip resiprositas, transparansi, dan non-diskriminasi, serta disertai kajian dampak terhadap sektor domestik yang rentan,” lanjut peneliti CORE.
NTM yang berfungsi melindungi kesehatan, keamanan pangan, dan lingkungan tetap perlu dipertahankan sesuai standar internasional. Sehingga kebijakan perdagangan tidak hanya berpihak pada kepentingan jangka pendek, tetapi juga menjaga kedaulatan regulasi nasional dan daya saing industri dalam negeri.
Kelima, pemerintah perlu melakukan optimalisasi penyerapan produk lokal. Dalam hal ini pemerintah melalui Bulog perlu menambah komoditas strategis lainnya selain beras. Seperti jagung dan daging ayam, serta memberikan subsidi kepada industri hilir agar menggunakan bahan baku domestik. Misalnya, memberikan subsidi jagung untuk pakan ternak peternak skala kecil.
Keenam, mempercepat hilirisasi komoditas pertanian menjadi produk bernilai tambah. Dalam hal ini sangat penting membangun linkage antara petani/peternak dan industri menengah besar yang didukung modernisasi teknologi dimulai dari produksi, pasca panen dan pengolahan. Dengan demikian dapat meningkatkan daya saing produk lokal.
Ketujuh, melindungi industri domestik dari serbuan impor ilegal yang murah melalui pengetatan verifikasi impor dengan melibatkan jasa Testing, Inspection and Certification (TIC). “Selain itu perlu adanya penambah anggaran subsidi untuk industri kunci seperti makanan-minuman, petrokimia, logam dasar, dan elektronik yang dapat menekan biaya produksi seperti subsidi energi dan infrastruktur pendukung agar mampu bersaing dengan produk impor,” pungkas peneliti CORE Indonesia dalam rekomendasinya. (lsw)