Jakarta — Bagi milenial Jakarta dan perkotaan, nama Jason Ranti sudah menjadi song list yang wajib ada di layanan YMusic (di Spotify JR belum ada) di telepon genggam. Lagu-lagunya digemari karena nakal, liar dan aktual mewakili generasi milenial perkotaan yang gelisah.
Bagi saya, Jason Ranti tak jauh berbeda dengan sejumlah musisi dari beragam generasi dan genre. Dari yang lucu macam para demonstran tahun 1970-an Warung Kopi hingga dua yunior mereka: Pancaran Sinar Petromak (PSP) dan Pengantar Minum Racun (PMR). Ada juga yang agak serius seperti Gombloh, yang Islami macam Rhoma Irama, yang kritis Iwan Fals, yang slenge-an seperti Slank, yang puitis seperti Netral, hingga yang penuh semangat perlawanan Marjinal dan banyak musisi lainnya.
Mereka lahir dan berkarya sesuai jaman mereka. Kepekaan dan keberanian berkarya menyuarakan mewakili kegelisahan generasi mereka, membuat musisi-musisi itu menghasilkan karya yang disukai bahkan digilai, termasuk tentu saja Jason Ranti saat ini.
Lalu apa hubungannya penyedia layanan video on demand (VOD) Netflix dengan Jason Ranti? Sangat berhubungan. Jelas pemblokiran Netflix adalah sekadar persoalan milenial kurang terdidik Jakarta dan sedikit di kota besar macam Denpasar, Surabaya, Medan dan Bandung.
Eh kok kurang terdidik? Ya iyalah. Sejauh ini, asal mau nanya sana-sini, mengakses Netflix aman dan lancar jaya kok tanpa pusing. Pasti mahal! Siapa bilang. Langganan akun Netflix yang premium ada kok yang cuma Rp80.000 se-capeknya.
Lha kan diblokir Telkom dan Telkomsel? Gampang. Pertama banyak pilihan provider seluler lain yang lebih murah dan ga rese. Sebut saja XL atau Smartfren. Kalo Indosat, ah kadang kurang ok! Kedua, kalo masih ingin pake Telkomsel ada kok VPN.
Mahal ah. Yaelah, ada kok VPN berlangganan yang cukup bayar di bawah Rp50.000 buat tiga device untuk tiga tahun. Asal rajin bertanya di dunia maya. Ada saja kok jalannya. Jadi ya, kalo ngaku milenial terdidik. Pasti paham lah bagaimana berbuat, ehm agak jahat!
Kembali soal umat Netflix. Dari sisi kuantitas, meski jumlah umat Netflix di Indonesia tak besar-besar amat, mereka menguasai ruang maya. Mereka adalah kelas sosial tersendiri. Tak sedikit malah yang berposisi sebagai key opinion leader atau influencer atau dalam taraf murah meriah menjadi buzzer bagi pihak yang membutuhkan jasa bikin berisik dunia maya.
Umat Netflix ini adalah mereka yang rela menghabiskan waktu bahkan uang yang tak sedikit demi menghadiri pusat keriahan massa. Mulai dari Djakarta Warehouse Project, Hammersonic, Java Jazz, We The Fest, Soundrenaline hingga Synchronize. Ini belum golongan Kpopers dan wibu-otaku yang tak kalah solid.
Umat Netflix ini adalah yang dituding beragam: hedon, asosial, asal jadi SJW (Social Justice Warrior). Mereka, umat Netflix yang juga penggemar Jason Ranti itu tak bisa dibayangkan militansinya dalam menyuarakan pendapat mereka di dunia maya.
Karena cenderung ramai di dunia maya, umat Netflix kerap dicibir tak memiliki kekuatan nyata massa sesungguhnya. Tak heran banyak pihak kaget, termasuk para pendukung Jokowi, ketika demonstrasi menentang UU KPK dan RUU KUHP dijejali umat Netflix.
Hanya saja umat Netflix lupa, sebagai generasi digital. Selera mereka tidak nyambung dengan pasar dunia hiburan yang telanjur nyaman berjalan di Indonesia. Lihat saja bagaimana nasib Net TV yang terengah-engah meski—mengklaim—jadi favorit generasi milenial.
Dalam riset kecil yang penulis lakukan terhadap peralihan konten televisi konvensional (free to air) ke saluran digital (YouTube) dalam kerangka mediamorfosis pada 2019 ternyata hasilnya kurang membahagiakan.
Penulis menemukan, seluruh televisi konvensional di Indonesia yang mengalihkan konten ke Youtube menyatakan rupiah yang mereka terima ketika mengalihkan konten ke YouTube tidak signifikan dibandingkan rupiah yang diterima dari iklan siaran konvensional.
“Jumlahnya kecil, tidak sebanding dengan iklan siaran biasa, belum soal bagaimana penentuan jumlah uangnya tidak jelas. Semua tergantung pada YouTube! Padahal mereka [YouTube] selalu merayu agar kami terlibat menjadi penyedia konten YouTube!” kira-kira demikian keluhan sejumlah petinggi TV swasta.
Simalakama Konten
Televisi swasta tidak membantah bahwa mereka mulai ditinggalkan penonton usia milenial. Sesepuh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Ishadi S.K dalam sebuah sesi peluncuran siaran digital yang dihadiri Menteri Rudiantara di perbatasan akhir tahun lalu menyatakan hal serupa.
Sayangnya, penulis lihat, televisi konvensional maupun perangkat organisasi, regulasi dan mayoritas penonton di Indonesia belum membutuhkan konten yang diminati penonton usia milenial. Pendek kata, asal laku, maka konten sampah pun di jam prime time selalu laku dijual sebagai lapak bagi pengiklan.
Maka agak mengagetkan ketika mantan aktivis sekelas Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid rela meredahkan diri di hadapan Netflix yang menyerahkan gula-gula senilai belasan miliar dengan bungkus mengembangkan film Indonesia.
Mas Menteri berharap dengan kerjasama tersebut sineas Indonesia bisa menyamai sineas Mexico yang karyanya dilirik Hollywood, mungkin maksud beliau sutradara Guillermo del Toro. Sineas yang banyak menangani film-film Hollwood.
Yah harapan bagus sih, minimal berkat kerjasama dengan Netflix, akan lahir sutradara yang lebih keren dibandingkan, ehm sekadar Garin Nugroho, Joko Anwar, Rudi Soedjarwo, Riri Riza, Hanung Bramantyo, Nia Dinata, hingga Mira Lesmana.
Dia juga berharap Netflix di masa datang dapat membuat seri yang terinspirasi folklore lokal macam pocong dll. Nah kayanya mas menteri lupa Netflix pada 2018 sudah pernah menayangkan The Night Comes For Us karya Timo Tjahjanto.
Selain itu baik mas Hilmar maupun mas Menteri menafikan bagaimana film-film Netflix mudah saja mengumbar konten dewasa. Mulai dari unsur kekerasan (violence), narkoba, alkohol dan rokok hingga ehm nudity (ketelanjangan).
Sebagai catatan The Night Comes For Us memiliki sedikitnya 23 item yang jika mengacu pada UU Perfilman tahun 2009 bakal kena gunting seperti menampilkan adegan seks dan ketelanjangan, kekerasan, narkoba, alkohol dan rokok, ketakutan dll.
Itu film produksi sutradara dengan banyak aktor-aktris Indonesia, bagaimana dengan film produksi Netflix, sebut saja film seri penuh aksi Punisher atau Arrow yang secara gamblang menampilkan adegan adu jotos, tembak menembak lengkap dengan muncratan darah.
Ketelanjangan? Mudah ditemukan di sejumlah series seperti Sex Education (ketelanjangan), Thirteen Reason Why (bunuh diri, pemerkosaan), Newness (ketelanjangan), begitu juga seperti Naked Director, dan Oh Ramona.
Umat Netflix yang suka film bergenre dokudrama musik tentu sudah menonton Dirt, tentang perjalanan band heavy metal Mötley Crüe yang menampilkan adegan ketelanjangan, persetubuhan, hingga penggunaan narkoba.
Belum lagi seri yang menampilkan dramatisasi menyentil religiusitas macam Lucifer atau Messiah. Bisa dibayangkan demo berjilid-jilid akan terjadi ketika Netflix mudah bin murah diakses. Bisa-bisa jalanan Jakarta macet akibat demo berjilid dari organisasi dan kelompok penjaga moral bangsa.
Bagi penikmat Netflix–yang membayar–untuk mencari kualitas tontonan, konten dewasa di Netflix yang sulit ditemukan di produk Hollywood tersebut tentu bukan masalah. Bahkan dramatisasi tersebut merupakan unsur penguat cerita sehingga tontotan yang dinikmati terasa nyata.
Tanpa hal tersebut, tak ubahnya melihat film tayang di televisi free to air di Indonesia yang demi memenuhi P3SPS memilih memenuhi tayangannya dengan blur, meng-hitam putih-kan atau sekalian memotong adegan agar tidak kena tegur KPI.
Dengan memenuhi regulasi LSF yang bertanggung jawab pada pra production dan KPI yang mengawasi post production, tayangan Netflix yang selama ini keren akan susah mencapai ‘roso‘ yang sama ketika banyak adegan dalam tayangan Netflix tersebut harus disensor.
Jadi intinya, ketika umat Netflix, membiarkan Netflix masuk secara resmi dalam sistem penyiaran di Indonesia, sama saja kita mempersilahkan Jason Ranti mengikuti jejak Iwan Fals jadi bintang kopi sachet murah meriah. Itu sih bunuh diri kelas sosial yang sesungguhnya. (***)
No Comments