Bung Karno dan Rehabilitasi Sejarah (Bagian – 3)

September 10, 2024

BRIEF.ID – Presiden Soekarno dengan lantang menentang imperialisme dan kolonialisme, serta menjalin hubungan erat dengan negara-negara di blok Timur seperti Uni Soviet (sekarang Rusia) dan Tiongkok.

Ini membuatnya menjadi musuh bersama bagi kekuatan Barat yang khawatir akan pengaruh komunisme di kawasan Asia Tenggara. Dalam dokumen-dokumen yang belakangan diungkap oleh peneliti sejarah dan akademisi, tampak jelas bahwa peristiwa 1965 adalah bagian dari upaya global untuk menggulingkan Soekarno dari kekuasaan.

Operasi-operasi rahasia yang melibatkan agen-agen intelijen internasional, khususnya CIA, sangat terlibat dalam memanfaatkan krisis politik domestik Indonesia untuk menciptakan kondisi yang mendukung kudeta militer.

Geopolitik yang bermain dalam peristiwa 1965 menunjukkan bahwa Indonesia tidak bisa lepas dari percaturan kekuasaan global. Soekarno, yang pada saat itu memimpin negara dengan gagasan non aligned movement (gerakan non blok), justru terseret dalam pusaran konflik ideologis antara kapitalisme Barat dan komunisme Timur.

Filsuf Prancis Michael Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tidak semata-mata beroperasi melalui tindakan represif, melainkan juga melalui pengaturan wacana dan pengetahuan. Kekuasaan yang mendominasi tidak hanya bertujuan untuk mengontrol fisik, tetapi juga untuk mengendalikan narasi, persepsi, dan pemahaman masyarakat tentang sejarah dan kebenaran.

Namun, Foucault juga menekankan bahwa di balik dominasi kekuasaan, terdapat resistensi. Kekuasaan tidak pernah absolut karena selalu ada perlawanan yang muncul. Dalam kasus Soekarno, resistensi ini dapat terlihat dalam upaya rehabilitasi yang diinisiasi pada era Reformasi.

Rehabilitasi nama baik Soekarno merupakan bentuk perlawanan terhadap narasi sejarah yang selama tiga dekade dikuasai oleh kekuatan politik Orde Baru. Proses rehabilitasi ini berusaha mengembalikan Soekarno pada tempatnya yang benar dalam sejarah sebagai proklamator dan Bapak Bangsa, serta meluruskan stigma negatif yang menempel pada dirinya akibat narasi sejarah yang dipelintir.

Pemerintah, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan pelurusan sejarah melalui rehabilitasi ini. Selain menghargai jasa besar Soekarno dalam kemerdekaan Indonesia, rehabilitasi juga harus menjadi momentum untuk mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk memahami pentingnya berpikir kritis terhadap narasi-narasi sejarah yang dipaksakan.

Dalam sistem politik yang demokratis, sejarah tidak boleh dijadikan alat kekuasaan, melainkan harus berfungsi sebagai medium untuk menggali kebenaran dan membangun identitas nasional yang kokoh.

Dengan demikian, urgensi rehabilitasi Soekarno oleh pemerintah menjadi semakin jelas bila dilihat dalam perspektif kekuasaan Foucault. Rehabilitasi ini bukan hanya soal politik, tetapi juga tentang etika sejarah dan keadilan bagi seorang tokoh besar yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa Indonesia.

Rehabilitasi ini adalah upaya untuk merevisi wacana yang salah dan mengembalikan Soekarno ke tempat yang semestinya dalam sejarah

Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 memang merupakan langkah signifikan dalam upaya memulihkan keadilan sejarah bagi Bung Karno, namun kita tidak boleh terjebak dalam romantisme semata.

Momen Refleksi

Ini seharusnya menjadi momen refleksi kritis bagi bangsa Indonesia untuk mengevaluasi bagaimana sejarah telah digunakan sebagai alat kekuasaan, baik oleh rezim Orde Baru maupun aktor-aktor lainnya – untuk membentuk narasi yang menguntungkan segelintir pihak.

Sejarah 1965 tidak bisa lagi dipandang sebagai sekadar konflik ideologis antara komunis dan anti-komunis; ada banyak dimensi politik, ekonomi, dan sosial yang terabaikan dan harus disorot dengan lebih cermat.

Generasi muda harus diajarkan untuk tidak menerima begitu saja narasi sejarah yang sudah diatur oleh kepentingan tertentu. Ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran kritis bahwa sejarah tidaklah statis, melainkan dinamis dan penuh kompleksitas.

Bung Karno tetap merupakan figur sentral yang perannya dalam sejarah harus dipahami secara utuh dan tanpa distorsi. Namun, upaya pelurusan sejarah ini tidak boleh berakhir hanya dengan mengembalikan nama baik satu tokoh; lebih dari itu, harus ada komitmen untuk mengungkap kebenaran sejarah secara keseluruhan.

Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 harus menjadi awal dari kajian ulang yang lebih luas dan mendalam terhadap sejarah bangsa ini. Kita harus berani menantang narasi-narasi yang selama ini dianggap sebagai  ‘kebenaran’ tanpa bukti yang kuat, dan siap menerima kompleksitas serta ambiguitas yang mungkin muncul.

Hanya dengan pendekatan ini, kita bisa membangun pemahaman sejarah yang lebih adil, objektif, dan berpihak pada kebenaran, bukan kepentingan politik semata. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari sejarahnya, dan pembelajaran itu hanya mungkin jika kita jujur dalam menatap masa lalu, tanpa memanipulasinya untuk kepentingan jangka pendek.

Penulis : Dr  Benny Susetyo – Sekretaris Dewan Nasional Setara

No Comments

    Leave a Reply