Bank Sentral Terus Timbun Emas, Langkah Awal Reset Keuangan Global?

Penimbunan fisik emas oleh sejumlah bank sentral dunia bisa jadi merupakan jawaban atas kekhawatiran terhadap ketidakpastian ekonomi global akibat perang tarif dan kisruh geopolitik.

Uniknya, penimbunan emas secara agresif justru dilakukan bank-bank sentral negara-negara ekonomi maju, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.

Di Januari 2025, AS sudah mencatatkan rekor tertinggi impor emas dalam satu dekade terakhir, yakni 192,9 ton atau naik lebih dari 200% dari bulan sebelumnya di 64,2 ton. AS juga tercatat menjadi penimbun emas dunia terbanyak, yakni sekitar 8.331 ton.

Hal ini, mungkin bisa dianggap sebagai signal bahwa masa depan ekonomi AS dan dunia sedang tidak baik baik saja. Kondisi tersebut, mau tidak mau akan membuat tekanan terhadap kenaikan harga emas semakin meningkat.

Goldman Sachs, Citigroup, Investing Haven dan UOB misalnya memprediksi harga emas akan terus melambung tahun ini. Secara rata-rata, harga emas dunia diprediksi bergerak di kisaran US$2.900 hingga US$3.267 per troy ounce. Per troy ounce emas sama dengan 31,1035 gram.

Di sisi lain, penumpukan emas juga dinilai sebagai cara untuk melindungi diri dari kemungkinan terjadinya disrupsi ekonomi akibat inflasi yang ogah turun,  semakin turunnya pamor dolar AS,  meningkatnya risiko perang dagang, dan sikap defensif bank-bank sentral.

Ketika bank sentral secara agresif menimbun emas, sering kali menjadi pertanda bahwa mereka sedang bersiap menghadapi ketidakstabilan ekonomi, yaitu:

1. Kehilangan Kepercayaan pada Mata Uang Fiat

Bank sentral mungkin sedang melakukan lindung nilai terhadap potensi depresiasi mata uang, terutama dengan meningkatnya utang dan kekhawatiran inflasi.

2. Risiko Geopolitik

Perang dagang, konflik, dan sanksi ekonomi (seperti yang diberlakukan terhadap Rusia) mendorong negara-negara untuk menimbun emas sebagai cadangan netral yang tidak bergantung pada dolar.

3. Ketakutan akan Resesi atau Krisis Keuangan

Secara historis, cadangan emas meningkat sebelum atau selama gejolak ekonomi. Jika bank sentral sedang mengakumulasi emas dalam jumlah besar, mereka mungkin sedang bersiap menghadapi sesuatu yang besar.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lonjakan pembelian emas oleh bank sentral menunjukkan langkah antisipasi volatilitas ekonomi, baik karena inflasi, kejatuhan pasar, maupun pergeseran kekuatan moneter global.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondisi tersebut merupakan langkah awal dari reset keuangan global?

Sejatinya, langkah awal reset keuangan global memang mungkin telah dan sedang terjadi, tetapi secara bertahap daripada runtuh secara tiba-tiba dalam semalam.

Secara umum, tanda-tanda awal reset keuangan dapat terlihat dari 4 faktor berikut ini:

– Lonjakan Pembelian Emas oleh Bank Sentral

Banyak negara mengurangi cadangan dolar AS dan mulai mengumpulkan emas. Ini menunjukkan bahwa mereka mengantisipasi volatilitas dalam sistem keuangan saat ini.

– De-Dolarisasi & Mata Uang Alternatif*

Negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) mendorong perdagangan dengan mata uang selain dolar AS. Misalnya, Tiongkok dan Arab Saudi mulai menyelesaikan transaksi minyak dalam yuan daripada dolar AS.

Sementara Rusia dan Iran sedang mengembangkan mata uang digital berbasis emas untuk menghindari sanksi AS.

– Krisis Utang AS & Risiko Inflasi

Utang nasional AS telah melampaui US$34 triliun (sekitar 24 tahun PDB Indonesia), yang memaksa pemerintah untuk mencetak lebih banyak uang dan ini artinya potensi laju inflasi semakin tinggi.

Jika Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) kehilangan kendali atas inflasi, nilai dolar bisa melemah secara signifikan.

Disisi lain, suku bunga yang lebih tinggi dapat menyebabkan tekanan ekonomi dan berpotensi memicu krisis keuangan.

–  Munculnya Mata Uang Digital Bank Sentral (CBDC)

Banyak bank sentral (Tiongkok, Uni Eropa, AS) sedang mengembangkan mata uang digital untuk memodernisasi sistem keuangan. Sebagai contoh, dolar atau yuan digital dapat mengubah struktur perdagangan global dan cadangan devisa.

Lalu bagaimana bentuk reset keuangan global?

Pertama, ketika ada sistem mata uang cadangan baru yang menggantikan dominasi dolar AS. Saat ini sudah terjadi pergeseran sistem multi-mata uang pengganti dolar AS, seperti emas, yuan, euro, dan kripto).

Kedua, terjadi restrukturisasi utang, di mana pemerintah merestrukturisasi atau mengurangi nilai riil utang dengan inflasi.

Ketiga, kembalinya standar emas sebagai alat pembayaran. Beberapa negara mungkin mendorong kembalinya sebagian transaksi pembayaran ke uang berbasis emas.

Keempat, terbangun infrastruktur keuangan digital yang bisa menggantikan uang tunai, dan memberi pemerintah lebih banyak kendali atas sistem keuangan.

Apakah ini akan terjadi dalam waktu dekat?

Reset keuangan penuh tidak akan terjadi dalam semalam, tetapi tanda-tandanya sudah mulai terlihat menuju perubahan bertahap. Meski demikian, pergeseran dari dominasi dolar AS sedang berlangsung sedikit demi sedikit.

Jadi apa yang harus dilakukan?

Sederhana saja, jaga cash Anda tetap sehat, dan pastikan Anda selalu dalam group The Premium Letter.

(Edhi Pranasidhi, Founder Indonesia Superstock Community)

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Antisipasi Cuaca Ekstrem, Pemprov DKI Lakukan Operasi Modifikasi Cuaca

BRIEF.ID – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan Operasi...

Ramadan 1446 Hijriah, BSI Gelar BYONDFEST di 9 Kota

BRIEF.ID - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) menggelar...

IHSG Tertekan ke Zona Merah Jelang Rilis Data Indeks Keyakinan Konsumen Februari 2025

BRIEF.ID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa...

Rupiah Melemah Kembali ke Level 16.300, Investor Lakukan Konsolidasi

BRIEF.ID - Nilai tukar (kurs) rupiah pada perdagangan hari...