BRIEF.ID – Meski pandemi sudah dinyatakan berakhir, penelitian Akiko Iwasaki tentang dampak Covid-19 masih berlangsung. Sebagai profesor terbaik bidang imunologi, ia juga aktif mengadvokasi para perempuan ilmuwan untuk bersinar.
Pada tahun 2024, Iwasaki memperoleh dua pengakuan dari Majalah Time yaitu sebagai 100 orang paling berpengaruh dan Time 100 untuk bidang kesehatan. Ini berkat pencapaian luar biasa Iwasaki yang keseharian mengabdikan diri di Yale University dan Howard Hughes Medical Institute.
Bermula dari fokusnya pada ilmu yang mempelajari kekebalan tubuh sebagai bentuk pertahanan melawan virus, kehidupan Iwasaki berubah ketika pandemi Covid-19 menerpa pada 2020 hingga bertahun selanjutnya.
“Pandemi mengubah pendekatan saya mendalami sains dan penyakit yang disebabkan oleh virus,” ujar Iwasaki dalam wawancara bersama Communications Biology.
Ia mengakui, saat itu semua ilmuwan, termasuk dirinya dituntut bertindak cepat untuk meneliti Covid-19 dan bagaimana penanganannya. Apabila biasanya para ilmuwan bekerja mengacu pada lembaga yang menaunginya, maka kondisi genting beberapa tahun lalu mendorong mereka bekerjasama.
“Penting membangun tim sains yang kuat, bahkan lintas negara,” jelas Iwasaki.
Kala itu, Iwasaki dan timnya memiliki terobosan terkait dosis booster vaksin Covid-19 yang diberikan melalui hidung. Ide itu, lanjut dia, adalah untuk membantu tubuh membangun perlindungan tambahan di tempat yang paling dibutuhkan. Yakni hidung, yang menjadi tempat masuknya virus.
Pada 2021, ia turut mendirikan sebuah perusahaan, Xanadu Bio, yang mencoba membawa temuan vaksin melalui hidung untuk Covid-19, flu, dan infeksi pernapasan RSV, ke pasar. Vaksin ini ampuh sebagai pencegahan, baik agar tidak terpapar atau menjaga tetap berada pada gejala ringan saat virus telanjur menginfeksi.
”Walau penyebarannya sudah dikendalikan oleh vaksin, jutaan orang punya konsekuensi mengalami long Covid. Karena itu, sampai saat ini, kami masih berfokus pada patogenesis penyakit dan mengacu pada terapi yang dijalankan,” kata Iwasaki dikutip dari Kompas.id, Jumat (27/12/2024).
Bersama Harlan Krumholz dan anggota tim yang lain, Iwasaki menggali dampak jangka panjang Covid ini dalam penelitian bertajuk Long Covid: Understanding Immune, Symptom, and Treatment Experiences Nationwide atau disebut dengan studi LISTEN. Harapannya, penelitian ini bisa menemukan dan memahami pola dan gejala jangka panjang Covid, serta respons imun tubuh sesuai informasi riwayat medis yang pernah menjadi pasien Covid.
Orang-orang yang diteliti direkrut dari Komunitas Covid-19 Hugo Health Kindred. Sampel yang diambil dari mereka adalah darah dan air liur.
”Saya berhipotesis Covid yang panjang bisa disebabkan infeksi virus yang terus menerus, sisa-sisa virus, atau reaksi autoimun. Hal ini yang diselidiki dengan mempelajari sampel darah. Kami juga ingin mengetahui bagaimana vaksin berdampak pada Covid jangka panjang,” tutur Iwasaki.
Tak bisa ditampik, banyak dari para penyintas Covid yang mengaku kondisi tubuhnya berbeda seperti sebelum terpapar Covid. Salah satunya adalah menderita sindrom pascainfeksi, seperti sindrom kelelahan kronis.
Selain penelitian mengenai Covid, Iwasaki juga melakukan penelitian terkait hubungan retrovirus endogeni dan autoimunitas yang nantinya ditujukan untuk pengembangan vaksin dan antigen vaksin untuk kanker.
Pengaruh Keluarga
Iwasaki terjun ke dunia sains karena terinspirasi sang ayah yang merupakan seorang fisikawan. Lahir dan besar di Iga, Jepang, Iwasaki justru mendalami fisika dan biokimia di Toronto, Kanada saat mengejar gejar sarjana pada 1994.
Cita-citanya adalah menjadi fisikawan seperti sang ayah, atau ahli matematika. Akan tetapi, niatnya berubah ketika mengikuti kelas imunologi.
”Saya malah jadi tertarik pada infeksi virus dan reaksi kekebalannya. Karier saya pun dimulai dengan mempelajari sel dendritik di kelenjar getah bening setelah infeksi virus herpes. Tujuannya bisa menghasilkan vaksin dengan metode prime and pull,” ungkapnya yang kemudian menggunakan metode itu untuk mengembangkan vaksin untuk mencegah kanker serviks.
Prime and pull adalah cara pencegahan dengan menggunakan vaksin konvensional sebagai langkah pertama, kemudian penerapan kemokin pada jaringan lunak yang disasar untuk tahap kedua.
Pada 1998, Iwasaki meraih gelar doktor imunologi dari Universitas Toronto. Dua tahun kemudian, ia memulai laboratoriumnya sendiri di Universitas Yale.
Tahun 2014, ia menjejak karir sebagai investigator di Howard Hughes Medical Institute. Tahun 2018, ia terpilih menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional di Amerika Serikat.
Memasuki 2022, Iwasaki dianugerahi gelar Profesor dengan penghormatan akademis tertinggi di Universitas Yale. Setahun kemudian, ia dipercaya menjadi Presiden Asosiasi Ahli Imunologi Amerika Serikat.
Jejak Sang Ibu
Tidak hanya aktif dalam kegiatan akademis, Iwasaki rupanya juga mengikuti jejak sang ibu yang dulu getol memperjuangkan hak-hak perempuan. Iwasaki memiliki kekhususan yaitu mengadvokasi para perempuan ilmuwan yang ’masih’ dipandang sebelah mata.
Di satu titik, pandemi memutarbalikkan upayanya kali ini. ”Beberapa kemajuan terkait kesetaraan dan inklusi yang sudah sempat terjadi kembali lagi ke awal setelah pandemi. Perempuan terkena dampak pandemi secara tidak proporsional. Salah satunya, beberapa harus meninggalkan sains untuk mengurus keluarga mereka,” kisah Iwasaki.
Ibu dari dua anak perempuan ini menjelaskan, kesenjangan gender masih terjadi, bahkan di dunia sains global. Pelecehan seksual, bias gender, relasi kuasa yang beracun, upah yang tak setara, kurangnya kesempatan dan dukungan yang setara, hingga kurangnya akses ke penitipan anak yang terjangkau menimpa perempuan, termasuk mereka yang bergerak di bidang sains.
”Kini, banyak universitas dan laboratorium melakukan perekrutan kembali. Bagi para perempuan ilmuwan, mari bersama-sama. Cari mentor yang sesuai dan baik untuk membimbing serta adil dalam memberikan kesempatan dan dukungan. Punya lebih dari satu mentor juga merupakan hal baik,” tutup Iwasaki. (nov)