3 Dampak Utama Perang Tarif Bagi Dunia, Bagaimana Indonesia?

BRIEF.ID – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, telah mengobarkan perang tarif impor dengan lebih dari 100 negara di dunia melalui pengumuman resmi pada 2 April 2025.

Dengan menetapkan tarif impor baru yang berkisar antara 10% hingga 50%, Trump berupaya memperkuat posisi AS dalam sistem perdagangan dan keuangan global, sebagaimana slogan kampanyenya “Make America Great Again”.

Lewat kebijakan baru tersebut, Trump membuka ruang negosiasi dengan negara-negara, yang terdampak. Namun kali ini perlawanan keras dilakukan oleh sejumlah negara ekonomi kuat, sehingga menimbulkan ketidakpastian baru bagi perekonomian dunia.

Perlawanan dengan membalas tarif impor AS tak hanya dilakukan Tiongkok yang menjadi musuh bebuyutan, tetapi juga dari negara-negara yang selama ini menjadi sekutu AS, seperti Kanada dan Uni Eropa.

Alhasil tujuan Trump untuk menimbulkan kepanikan, sehingga pelaku pasar membeli obligasi AS, yang akan menurunkan biaya pinjaman AS pun tak berjalan mulus.

Sebaliknya, ada tiga dampak utama, yang terjadi akibat perang tarif impor, yang telah dikobarkan Trump. Meskipun negosiasi masih dilakukan AS dengan sejumlah negara, tarif impor baru telah membuka alternatif yang justru dapat menggeser kekuatan AS terhadap perekonomian dunia.

1. Pasar Mencari Alternatif Selain Dolar AS

Pasar keuangan panik dan heboh, ketika Trump mengumumkan kebijakan tarif impor. Alih-alih menarik investasi, pasar saham AS justru anjlok, dan yield US Treasury atau obligasi AS meningkat, yang berarti biaya pinjaman malah meningkat.

Untuk menenangkan pasar, Trump mengumumkan tarif impor baru akan diberlakukan 3 bulan mendatang, dan dalam kurun waktu tersebut tarif impor yang berlaku tetap 10%, kecuali untuk Tiongkok.

Pengumuman tersebut berhasil membuat permintaan obligasi AS pulih, dan bursa saham Wall Street kembali bergerak di zona positif.

Meski demikian, dolar AS melemah, dan harga emas serta mata uang lain seperti Euro dan Yen naik. Hal ini menunjukkan dunia mulai mencari alternatif selain dolar AS.

2. Pasar Membuat Kesepakatan Perdagangan di Luar AS

Kebijakan tarif impor AS mendorong negara-negara berupaya bernegosiasi dengan AS, tapi juga membuat kesepakatan perdagangan baru di luar AS.

Di Asia, negata ekonomi maju seperti China, Jepang, dan Korea Selatan memperkuat kerja sama perdagangan, untuk mengurangi ketergantungan pada AS.

Selain itu, negara-negara Asia-Pasifik juga memperdalam pakta perdagangan, begitu juga negara-negara berkembang mulai membuat perjanjian perdagangan sendiri.

3. Hubungan Bilateral AS dan Sekutu Merenggang

Kebijakan tarif AS yang menyasar berbagai negara tanpa pandang bulu, ternyata melukai negara-negara sekutu terkuat AS selama ini.

Alhasil hubungan bilateral dan diplomasi antara AS dan negara-negara sekutu di berbagai kawasan yang sudah terbangun puluhan tahun pun merenggang.

Sekutu AS seperti Eropa dan Jepang mulai ingin lebih mandiri. Pemimpin Eropa telah menyatakan ingin mempunyai kebijakan ekonomi sendiri, bukan terus mengikuti AS.

Jepang yang merupakan salah satu sekutu terkuat AS di Asia juga ingin melepasa ketergantungan kepada AS dengan memperkuat aliansi sendiri bersama Korea Selatan dan China.

Di Timur Tengah, negara-negara sekutu AS seperti Arab Saudi dan Qatar merencanakan kerja sama ekonomi di luar pengaruh AS.

Sementara di kawasan Asia Tenggara, hanya ada pembicaraan kerja sama perdagangan antara Malaysia, dan Indonesia. Pasalnya, Singapura yang merupakan negara sekutu terkuat AS di kawasan ini tak terdampak, karena hanya dikenai tarif impor 10%.

Kondisi ini dimanfaatkan Tiongkok untuk memperkuat posisinya di kawasan Asia Tenggara, mengingat banyak negara ASEAN menjadi mitra dagang utama China, termasuk Indonesia. 

Gejolak yang ditimbulkan perang tarif yang dikobarkan AS, memang menimbulkan ketidakpastian perekonomian dunia. Meski demikian, hal itu justru memicu perubahan besar yang mendorong dunia beralih ke sistem perdagangan dan keuangan yang lebih sseimbang, di mana AS justru tidak lagi dominan.

Meski saat ini posisi AS masih kuat, tapi mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan sistem perdagangan dan keuangan dunia yang berubah.

Perang tarif impor, justru harus dimanfaatkan AS untuk membuka ruang negosiasi yang adil, agar tetap berpengaruh tanpa memicu lebih banyak ketegangan.

Dampak bagi Indonesia

Lalu bagaimanakah dampak dari perang tarif terhadap Indonesia? Sebagai salah satu negara dengan sumber daya alam yang kaya, terutama mineral langka, yang dibutuhkan dunia, Indonesia justru harus memanfaatkan perubahan yang sedang terjadi akibat dampak perang tarif dengan sebaik-baiknya agar menguntungkan dan menempatkan posisi Indonesia sebagai pemain utama.

Dilihat dari surplus neraca perdagangan yang dibukukan Indonesia terhadap AS dan Tiongkok, pemerintah harus memanfaatkan momentum perang tarif ini dengan sikap politik luar negeri Indonesia yang nonblok, agar tetap menjadi mitra utama bagi dua negara adikuasa tersebut. 

Namun Indonesia telah memulai negosiasi dengan AS, yang berakhir tanpa kesepakatan. Kedua negara berjanji akan membahas kembali negosiasi tersebut melalui kesepakatan yang lebih rinci dalam 60 hari ke depan.

Padahal, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, telah menawarkan setidaknya 10 poin kerja sama, yang dapat meningkatkan perdagangan serta sistem keuangan AS di Indonesia.

Waktu 60 hari untuk membahas lebih rinci negosiasi dengan AS terkait perang tarif harus dimanfaatkan Indonesia agar tidak hanya menawarkan keuntungan, namun  tidak mendapatkan timbal balik yang sepadan.

Dilihat dari surplus perdagangan Indonesia terhadap AS, posisi Indonesia sebenarnya cukup kuat, karena AS mengimpor lebih banyak dari Indonesia, ketimbang mengekspor.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami surplus US$1,57 miliar dalam perdagangan nonmigas dengan AS pada Februari 2025. Angka tersebut melonjak menjadi US$1,98 miliar pada Maret 2025.

Sejumlah komoditas dan produk Indonesia, yang mendapat permintaan tinggi dari AS, antara lain mesin dan peralatan listrik menyumbang bagian terbesar dari surplus pada bulan Maret, menambah US$465 juta pada neraca perdagangan positif.

Selanjutnya, komoditas alas kaki menyumbang surplus US$239,7 juta, dan menyumbang surplus $238,7 juta untuk komoditas lemak dan minyak hewani/nabati, terutama dari minyak sawit.

“Total surplus perdagangan Indonesia dengan AS mencapai US$4,32 miliar pada kuartal I tahun 2025,” kata kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam jumpa pers, di Jakarta, Senin (21/4/2025).

Angka tersebut, yang juga memperhitungkan perdagangan minyak dan gas, menandai lonjakan yang cukup signifikan dari surplus US$3,61 miliar yang tercatat pada kuartal I 2024.

Sesuai kebijakan tarif impor terbaru AS yang diumumkan 2 April 2025, Indonesia dikenai 32%, belum termasuk tarif dasar sebesar 10%. Dengan demikian, kisaran tarif impor yang akan diberlakukan AS terhadap Indonesia pada Juli 2025 kemungkinan lebih tinggi.

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang memimpin delegasi Indonesia dalam negosiasi tarif impor dengan AS menyampaikan pemerintah mengupayakan perlakuan yang adil terutama pada sektor padat karya.

Pasalnya, beberapa komoditas ekspor utama Indonesia ke AS berasal dari sektor padat karya, yakni alas kaki, tekstil, elektronik, furnitur, dan udang.

Penasihat ekonomi presiden, Mari Elka Pangestu, menyampaikan bahwa ekspor mineral penting dari Indonesia juga dapat dikecualikan dari rezim tarif AS dan menjadi posisi tawar yang tinggi mengingat Tiongkok telah membatasi ekspor mineral penting, seperti logam tanah jarang.

Indonesia telah mengusulkan sejumlah konsesi perdagangan sebagai imbalan atas keringanan tarif, yang meliputi peningkatan impor gas minyak cair, bensin, kedelai, bungkil kedelai, dan barang modal dari AS.

Pemerintah juga sedang mempersiapkan penyesuaian peraturan untuk merampingkan perizinan usaha dan prosedur impor bagi perusahaan-perusahaan AS.

Sementara itu, Washington telah meminta Indonesia untuk melonggarkan persyaratan konten lokal, khususnya untuk investasi teknologi Amerika. Airlangga menyebut pembangunan pusat data sebagai salah satu bidang yang sedang dibahas.

Pertanyaannya, apakah langkah negosiasi Indonesia ini hanya untuk mengambil hati Trump, sudah tepat kah dilakukan?

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Bursa Karbon Indonesia Ungguli Jepang, Thailand, dan Vietnam

BRIEF.ID - Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI)...

Malaysia Tertarik Belajar Teknologi Pertanian Indonesia

BRIEF.ID – Menteri Pertanian dan Keterjaminan Makanan Malaysia Datuk...

IHSG Tembus Level Psikologis 6.500, Investor Respons Positif RDG BI

BRIEF.ID - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa...

Rupiah Melemah Tembus Rp16.855 per dolar AS, Investor Khawatir Tekanan Trump Terhadap The Fed

BRIEF.ID - Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika...