Kenaikan Harga Beras Rambah 268 Kabupaten/Kota

February 27, 2024

BRIEF.ID – Jelang bulan Ramadan, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis  kenaikan harga beras telah merambah hingga 268  kabupaten/kota di Indonesia.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menyatakan,  daerah yang mengalami lonjakan harga beras terus bertambah dan  pada pekan ini harga rata-rata nasional beras mencapai Rp15.387 per kg, setelah sempat berada di puncak harga tertinggi, yaitu Rp. 18.000/kg.

“Kalau kita lihat secara spasial, terlihat di beberapa wilayah kabupaten/kota di Pulau Sumatera dan Jawa masih mengalami kenaikan harga beras cukup tinggi, di  kisaran 10 hingga 30%,” kata  Pudji pada Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta,  Selasa (27/2/2024).

Secara terpisah, Koordinator Kelompok Riset Kemiskinan, Ketimpangan, dan Perlindungan Sosial Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Yanu Endar Prasetyo, mengungkapkan, 

tingginya tingkat konsumsi beras menjadikan komoditas ini sebagai pendorong inflasi year-to-year (yty) maupun month-to-month (mtm).

“Beras juga menjadi penyumbang angka kemiskinan, mengingat 50,32% pengeluaran warga miskin Indonesia dihabiskan untuk belanja makanan, yang bagian pokoknya adalah beras. BPS dan Bank Indonesia  melaporkan, komoditas beras masih mengalami inflasi sebesar 0,64% (mtm) dengan andil inflasi sebesar 0,03% pada Januari 2024. Hal itu menyebabkan komponen inflasi volatile food (komponen bergejolak) meningkat menjadi 7,22%,” jelas Yanu.

Yanu berpendapat beras memiliki arti penting bagi mayoritas warga berpendapatan rendah. Setiap kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, utamanya beras,  akan menambah jumlah dan porsi pengeluaran. Ia menyatakan, hingga saat ini, beras masih menjadi pengeluaran terbesar bagi penduduk miskin.

“Di sisi lain, ketika pengeluaran meningkat, tapi pendapatan tetap atau tidak bertambah,  beban ekonomi rumah tangga miskin   semakin berat. Terlebih jika kenaikan harga merembet kepada barang kebutuhan pokok lainnya,” tuturnya.

Ia  menyayangkan kebijakan pemerintah  menggelar operasi pasar dan pasar murah di berbagai daerah, sehingga membuat  warga antre dan berdesak-desakan demi mendapatkan beras murah. Menurutnya, hal ini justru memperlihatkan wajah kemiskinan dan keputusasaan warga.

“Wajah kemiskinan dan keputusasaan warga ini tentu bukan potret yang baik. Miris melihat bagaimana sebuah negara yang dulu pernah swasembada beras, pernah mendapat julukan negara agraris, dan menjadi eksportir beras dunia, kini bahkan kewalahan menyediakan sumber pangan pokok untuk warganya sendiri,” jelas Yanu, yang meraih gelar PhD Bidang Sosiologi Perdesaan  pada University of Missouri, Columbia, AS.

Secara terpisah,  Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan,  kenaikan harga beras ini tidak hanya terjadi di Indonesia,  juga di negara-negara lain. Bahkan, bagi-bagi Bansos beras 10 Kg dianggap sebagai sebagai kebijakan  membanggakan karena hanya ada di Indonesia dan tidak dilakukan  negara lain.

“Pertanyaannya adalah, berapa lama operasi beras murah ini dapat dijalankan? Apakah operasi pasar mampu menstabilkan harga atau hanya menekan agar tidak naik sementara waktu?” kata Presiden.

Kondisi  ini, menurut Yanu, akan terus mendatangkan sejumlah kegelisahan baru.

“Siapa yang bisa menjamin perubahan iklim dan pergeseran musim tanam akan kembali normal? bagaimana jika justru semakin tidak menentu? Jika produksi dalam negeri tidak meningkat dan negara-negara produsen beras lainnya melarang ekspor (restriksi), dari mana kita akan mampu mencukupi kebutuhan pokok beras ini?” ujar Yanu.

Merujuk pada Program Strategis Nasional (PSN) Food Estate (Lumbung Pangan) yang dianggap sebagai solusi, Yanu berpendapat Food Estate belum mampu menunjukkan hasilnya. Ia justru khawatir Lumbung Pangan  akan menambah daftar masalah baru berupa pemborosan anggaran dan deforestasi yang ugal-ugalan.

“Jika solusinya adalah diversifikasi dan kembali ke pangan lokal, sudah sejauh mana negara dan kita semua melawan ketergantungan pada beras ini secara serius?” pungkasnya.

No Comments

    Leave a Reply