Kisah Dinosaurus bernama TVRI

January 20, 2020

Jakarta — Jelang akhir Agustus 2019, kabar kisruh di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI santer terdengar. Sejumlah dokumen internal sampai di tangan Dewan Pengawas LPP TVRI dan bikin tercekat. Nilai tagihan dengan jumlah besar.

Salah satu dokumen adalah bujet show manajemen milad TVRI tanggal 24 Agustus 2018 di Balai Sarbini senilai Rp116 juta. Bikin heran, rupanya acara ini tidak memakai sumber daya manusia TVRI tetapi dialihdayakan (outsource) ke pihak luar.

Kemudian ada perincian bujet produksi ‘Kuis Siapa Berani’ tanggal 2 Agustus 2019 yang diselenggarakan di Studio 2 Balai Diklat TVRI ditagihkan senilai Rp146.533.000. Salah satu angka yang bikin Dewan Pengawas (Dewas) kaget adalah biaya sewa alat senilai Rp44,3 juta untuk dua episode.

Dari dua dokumen tersebut muncul nama PT Media Mahakarya Indonesia alias Triwarsana yang dipimpin Reinhard Roosevelt Marshall Tawas. Dari jejak digital yang ada, sulit menampik kedekatan Reinhard dan Dirut TVRI, Helmy Yahya.

Dalam buku Siapa Berani Jadi entrepreneur: Saya Saja Tidak Menyangka Jadi Entrepreneur yang ditulis Helmy Yahya dan Baban Sarbana, diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo tahun 2006 pada halaman 103 Helmy menulis “Ia rekan saya sejak di Ani Sumadi Production. Orangnya sangat pintar, seperti ensiklopedia berjalan. Akurasi datanya luar biasa. Saya pertama kali kenal karena ia adalah teman kerja kakak saya, Tantowi Yahya. Kepintarannya teruji dengan menjadi pemenang Kuis Serba Prima di TVRI yang dibawakan almarhum Olan Sitompul. Itu pula yang membuat saha mengajak Reinhard menjadi tim soal di beberapa kuis produksi Ani Sumadi Production.”

Dokumen berikutnya yang bikin penggemar Liverpool bisa nonton gratisan adalah tagihan hak siar Liga Inggris dari PT Global Media Visual ke TVRI sesuai perjanjian nomor No. 002/GMV/LG/VI/2019 dan No.07/SP/I.1/TVRI/2019. Nilainya, Rp24 miliar. Ditambah pajak totalnya Rp27 miliar lebih. Konon, masih ada hutang lain untuk hak siar Badminton senilai belasan miliar rupiah.

PT Global Media Visual, jika diintip dari situs tata kelola aplikasi informatika Kominfo https://pse.kominfo.go.id/sistem/2298, adalah Mola TV dengan nomor tanda daftar 01788/DJAI.PSE/09/2019.

Sejak Juli 2019, Mola TV menjalin kemitraan dengan perusahaan penyiaran TV publik TVRI, yang akan mengudarakan kompetisi melalui free-to-air-terrestrial Liga Inggris secara gratis. Selain itu Mola juga menjalin kemitraan dengan PT Garuda Media Nusantara, pemilik MATRIX TV, penyiar TV Berbayar.

MATRIX TV memegang hak untuk distribusi MOLA Live Arena (siaran langsung). Pihak lain dalam kemitraan ini adalah PT Mitra Media Integrasi (MIX) dan PT Hartono Istana Teknologi (Polytron), yang juga dikendalikan oleh Grup Djarum.

Polytron menyediakan Mola Polytron Streaming, streaming kotak Internet pada platform over-the-top (OTT) melalui direct-to-home (DTH) atau secara tidak langsung melalui bisnis-ke-bisnis dengan ISP, operator telekomunikasi, e-commerce, dll.

Penggemar Liga Inggris tentu ingat, Mola bersama PT Garuda Media Nusantara (Matrix TV) pada September 2019 mengirim somasi terkait siaran EPL yang ditembuskan ke KPI Pusat dan beberapa KPID. Pangkalnya, banyaknya aktivitas nonton bareng EPL di kafe dan sejenisnya.

Sayang, mementum kurang tepat karena bersamaan dengan berakhirnya tahun politik 2019. Apa kata dunia kalau ada keributan di TV negara yang sedang jadi rebutan antara pemerintah, DPR dan TV Swasta sebagai operator penyedia MUX siaran digital, yang tak kunjung berjalan.

Menjelang akhir Oktober 2019, penguasa Kominfo terjadi. Dari Rudiantara ke tangan Johnny Gerard Plate, pergantian menteri sepertinya menjadi titik start menajamnya konflik di antara Dewan Pengawas LPP TVRI dan Dirut TVRI. Kedua pihak mulai saling berbalas surat.

Puncaknya pada 4 Desember 2019 Dewas TVRI mengirim surat bernomor 239/DEWAS/TVRI/2019 perihal Pemberitahuan Rencana Pemberhentian. Isi surat tersebut tegas mempertanyakan adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berupa pelanggaran yang merugikan hingga adanya mal administrasi termasuk keterlambatan pembayaran Satuan Kerabat Kerja (gaji pegawai) TVRI yang telah dianggarkan dalam APBN.

Tak main-main, enam kali telat bayar yakni Mei 2018 menjelang Idul Fitri 2018, November 2018, gagal bayar 2018 senilai Rp7,6 miliar di Desember 2018, terlambar bayar SKK yang terutang, gagal bayar 2018 baru dibayar pada Maret 2019, Mei 2019 menjelang Idul Fitri dan Agustus-Oktober 2019.

Yang merepotkan, informasi bahwa keterlambatan tunjangan kinerja karyawan TVRI tak lain disebabkan oleh proses di Presiden RI. Diketahui Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2019 tentang aturan terkait tunjangan kinerja pegawai TVRI pada 30 Desember 2019

Perpres yang diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 31 Desember 2019 menjelaskan Pegawai TVRI mendapatkan tunjangan setiap bulan dengan memperhitungkan capaian kinerja.

Dalam Perpres itu dirinci, tunjangan kinerja pegawai TVRI untuk kelas jabatan 1 sampai 5 diberikan mulai dari Rp1.563.000 hingga Rp1.904.000 per bulan. Kemudian meningkat menjadi Rp2.095.000-Rp2.915.000 untuk kelas jabatan 6-9.

Untuk kelas jabatan 10 sampai 15, tunjangannya mencapai Rp3.352.000-Rp10.315.000 per bulan, dan Rp14.131.000 per bulan untuk kelas jabatan 16, serta Rp21.974.000 bagi pejabat kelas 17. Alhamdulilah. Terima kasih pak Jokowi.

Tapi ingat! tunjangan diberikan kepada pegawai berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pegawai Badan Layanan Umum (BLU) yang telah mendapatkan remunerasi sesuai aturan PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum tidak mendapat jatah tunjangan.

Kembali soal surat Dewas, diketahui Dirut TVRI dinilai bertanggung jawab terhadap pelanggaran etika dan pakta integritas direksi seperti peminjaman uang di Koperasi TVRI oleh oknum Direksi, pemakaian dua mobil dinas TVRI yang ditempatkan di rumah dengan biaya BBM dari TVRI.

Surat tersebut langsung dijawab Helmy Yahya dengan surat bernomor 1582/I.1/TVRI/2019 tertanggal 5 Desember 2019. Ribut-ribut berlanjut hingga berpuncak pada kisruh penyegelan kantor Dewan Pengawas (Dewas) TVRI oleh sejumlah pegawai pada Kamis (16/1).

Dibelenggu negara

Siapa yang benar? Entah lah. Yang pasti LPP TVRI beroperasi dengan dana APBN. Duit dari pajak rakyat yang tidak sedikit. Tahun ini TVRI mendapatkan anggaran Rp1,2 triliun, tahun lalu mendapatkan Rp 959 miliar.

Kenapa tidak dibubarkan? Yah misalnya dimerger dengan DAAI TV yang rajin menyebarkan kebaikan tanpa ngemis APBN. Ya tidak bisa semudah itu karena LPP berperan penting dan strategis dalam mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lho bukannya LPP itu yang jadi masalah? Itulah. Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 32/2002 dan Pasal 1 ayat (2) huruf a PP Nomor 13/2005 membuat bentuk TVRI itu mirip zombie karena tidak termasuk dalam peta kelembagaan negara seperti presiden beserta jajarannya, MPR, DPR, DPD, MA, dan BPK maupun pada lembaga nonstruktural.

Status itu diperparah keberadaan LPP yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 3/2003 tentang BUMN, UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Akibatnya, mayoritas dana operasional TVRI dialokasikan dalam APBN melalui pos anggaran 69 atau belanja lain-lain. Akibatnya, pengelolaan anggaran TVRI –khususnya hasil usaha jasa siaran dan nonsiaran– dinilai oleh auditor BPK melanggar UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 20/1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Dampaknya, kondisi yang dibiarkan pemerintah dan DPR—khususnya Komisi I karena tak kunjung mendorong ditekennya UU Penyiaran baru adalah ketidakmampuan TVRI bersaing dengan TV Swasta. Lha kok? Alatnya bapuk. Tak sedikit yang rusak.

Belum termasuk SDM karyawan TVRI yang mayoritas sekadar jebolan SMA, malah ada yang masih lulusan SD dan SMP. Statusnya, mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang segera menunggu waktu pensiun!

Repotnya, UU kepegawaian yakni UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengatur: rekrutmen, pengangkatan, pembinaan, dan pemberhentian merupakan kewenangan kementerian teknis yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Jadi? Mengutip teori evolusi Charles Darwin yakni Survival of The Fittest. TVRI sebagai televisi tertua di republik ini ibarat dinosaurus yang besar, lamban sekaligus tidak efisien.  

Yang seru, ehm ehm. Pada Juli 2019 lalu tak banyak yang sadar, PT Garuda Media Nusantara beperkara dengan Stasiun televisi milik taipan Hary Tanoesoedibjo, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). Gugatan hak cipta terhadap PT Garuda Media Nusantara (Matrix TV) didaftarkan RCTI ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nilai Rp6,577 triliun.

Mungkin banyak yang lupa, pemilik siaran liga Inggris sampai 2018 masih dipegang RCTI-MNC. Menariknya ribut-ribut selalu terjadi setiap kali hak siaran lepas dari tangan televisi mas Hary Tanoe. Masih ingat kah republik ini ketika hak siaran Liga Inggris jatuh ke tangan televisi berlangganan Aora TV dari Malaysia?

(***)

No Comments

    Leave a Reply