Krisis Air di Jawa dan Bagaimana Kita Harus Menyikapinya

August 7, 2019

Jakarta — Pulau Jawa dengan jumlah penduduk yang mencapai separuh penduduk Indonesia menghadapi ancaman kelangkaan ketersediaan air.  Dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara diperkirakan meningkat hingga 2030. Proporsi luas wilayah krisis air meningkat dari 6,0% di tahun  2000 menjadi 9,6% di tahun 2045. Kualitas air diperkirakan juga menurun signifikan.

“Jawa diprediksi  akan mengalami peningkatan defisit air sampai tahun 2070,” kata Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Pada tahun 2005, Heru melakukan penelitian Dampak Perubahan Iklim terhadap Neraca Air Pulau Jawa. Dengan perangkat lunak MAGICC/SCENGEN, dirinya menyusun skenario potensi air di Jawa sampai tahun 2070. “Rentang waktu ini untuk memperlihatkan perbedaan yang signifikan karena jika jarak waktunya terlalu pendek tidak terlalu kelihatan dampaknya.”

Perangkat lunak MAGICC membantu peneliti seperti Heru untuk menentukan perubahan konsentrasi gas rumah kaca, suhu udara permukaan rata-rata global, dan permukaan laut yang dihasilkan dari emisi antropogenik. Sementara SCENGEN menyusun serangkaian proyeksi perubahan iklim yang eksplisit secara geografis untuk dunia menggunakan hasil dari MAGICC. “Tahun 2018 saya melakukan penghitungan lagi dengan model terbaru MAGICC/SCENGEN, prediksinya masih sama,” ujar Heru.

Penyebab krisis air
Heru menyebutkan, faktor terbesar penyebab krisis air di Jawa adalah perubahan iklim. “Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air yang menguap ke udara karena peningkatan temperatur akibat perubahan iklim,” jelas Heru. Menurutnya, kondisi ini berpengaruh pada keseimbangan neraca air.

Keseimbangan neraca air ini, lanjutnya, akhirnya berpengaruh pada ketersediaan air mengingat kebutuhan air semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk serta perubahan tata guna lahan. “Air yang seharusnya diserap masuk ke tanah dan bertahan lama di darat menjadi air limpasan yang langsung masuk ke saluran air ke sungai dan laut karena tanah menjadi lapisan kedap air akibat perubahan fungsi lahan,” ujar Heru.

Lewat proyeksi iklim Representative Concentration Pathways 4.5, rata-rata defisit air dalam setahun di Jawa terus meningkat sampai tahun 2070. “Daerah-daerah yang mengalami defisit air meluas, sementara wilayah-wilayah basah di bagian barat dan tengah Jawa semakin berkurang,” ujar Heru.

Apa yang harus dilakukan?
Heru menjelaskan, alih fungsi lahan dari area resapan menjadi pemukiman dan daerah industri mengancam sumber air di Jawa. “Jawa masih menjadi daerah industri andalan. Tahun 2040 diprediksi semua wilayah di Pantai Utara Jawa mulai dari Banten sampai Surabaya akan menjadi wilayah urban yang berpotensi mengalami defisit ketersediaan air,” tutur Heru.

Ia menekankan pentingnya membudayakan penghemataan air. “Ada daerah yang kekeringan, sementara ada juga daerah yang sampai kelebihan air. Neraca air ini harus diseimbangkan,” ujarnya.

Selain itu, ia juga memandang perlunya pemanfaatan air marginal seperti air payau. “Air marginal sebetulnya bisa dimanfaatkan kalau ada teknologi yang murah. Saat ini belum ada teknologi di Indonesia yang mampu  memenuhi untuk kebutuhan dalam jumlah besar. Sementara di  negara-negara Timur Tengah air laut sudah bisa disuling untuk air bersih,” uajrnya.

Ia mengungkapkan prinsip reuse dan recycle ini  bisa jadi salah satu opsi untuk mengantisipasi potensi krisis air di Jawa. “Manfaatkan air-air marginal. Salah satunya dengan penyulingan air. Mungkin teknologinya masih mahal kalau sekarang, namun ke depan ini bisa bermanfaat,” tutupnya. (fz)

****

Sumber : Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI

No Comments

    Leave a Reply