BRIEF.ID Kapitalisasi pasar saham Amerika Serikat (AS) dinilai sudah berada pada level yang kelewat mahal, bahkan berpotensi menyerupai gelembung (bubble) seperti yang terjadi pada era dot-com awal 2000-an.
Analis Pasar Modal Edhi Pranasidi menjelaskan bahwa indikator utama yang menunjukkan kondisi ini adalah Buffett Indicator—rasio antara kapitalisasi pasar saham terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Saat ini, indikator Buffett untuk pasar saham AS telah mencapai hampir 220%, rekor tertinggi sepanjang sejarah, dan lebih dari dua deviasi standar di atas rata-rata jangka panjang,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
Menurut Edhi, valuasi tersebut merupakan level paling ekstrem sejak ledakan gelembung dot-com pada tahun 2000, yang kala itu menyebabkan koreksi besar di Wall Street hingga menurunkan tiga indeks utama lebih dari 50%. “Risikonya akan semakin nyata bila pertumbuhan ekonomi AS mulai melambat,” tambahnya.
Ia menilai lonjakan kapitalisasi pasar AS terutama dipicu oleh euforia terhadap kecerdasan buatan (AI) dan dominasi saham-saham teknologi besar. Namun, jika hanya mengandalkan sentimen tanpa didukung fundamental ekonomi yang seimbang, pasar rentan terkoreksi.
Edhi pun mengingatkan bahwa apa pun yang terjadi di AS akan berimbas pada sentimen investasi global, termasuk ke Indonesia. Meski demikian, ia menilai kondisi pasar saham dalam negeri masih relatif aman.
“Berdasarkan indikator Buffett, rasio kapitalisasi pasar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terhadap PDB saat ini sekitar 62%. Artinya, level ini masih jauh di bawah ambang batas 100% yang biasanya dianggap sebagai tanda pasar terlalu mahal,” jelasnya.
Dengan kondisi ini, Edhi mengimbau investor agar tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan, sembari memperhatikan dinamika eksternal yang berkembang di pasar global. (ano)