BRIEF.ID – TikTok bakal diarang di Amerika Serikat (AS) mulai 19 Januari 2025. Diperkirakan 170 juta orang AS yang telah menjadi pengguna terancam kehilangan akses ke platform media sosial (medsos) asal Tiongkok itu.
Mahkamah Agung AS pada Jumat (17/1/2025), telah mengesahkan Undang-Undang yang menyatakan TikTok dilarang beroperasi di AS, kecuali kepemilikannya beralih kepada pemilik baru yang bukan warga negara Tiongkok.
Sampai saat ini, belum ada indikasi bahwa TikTok akan melakukan penjualan kepemilikan (saham), dan perisahaan telah menyatakan bahwa mereka siap menerma konsekuensi dilarang beroperasi di AS pada Minggu (19/1/2025).
Sebanyak 170 juta orang AS terancam kehilangan akses ke platform TikTok yang mereka gunakan untuk mencari hiburan, berita, dan komunitas, atau bahkan menjalankan bisnis.
Larangan terhadap TikTok dilakukan pemerintah AS seiring pertumbuhan pesat penggunanya di negara itu. TikTok menjadi platform baru pertama dalam beberapa tahun yang menimbulkan ancaman kompetitif nyata bagi pendukung media sosial asal AS, seperti Instagram dan YouTube.
Pemerintahan Presiden Joe Biden yang akan segera berakhir juga tidak memberikan kejelasan dan jaminan terkait berlaku atau tidaknya larangan terhadap TikTok dan dampaknya bagi pengguna.
Manajemen TikTok pada Jumat (17/1/2025) malam telah mengumumkan bahwa platform media sosial itu akan ditutup pada Minggu (19/1/2024) malam jika tidak ada “kejelasan dan jaminan” dari pemerintah AS.
“Pernyataan yang dikeluarkan hari ini oleh Gedung Putih dan Departemen Kehakiman telah gagal memberikan kejelasan dan jaminan yang diperlukan kepada penyedia layanan yang merupakan bagian penting untuk menjaga ketersediaan TikTok bagi lebih dari 170 juta orang Amerika. Kecuali jika Pemerintah Biden segera memberikan pernyataan definitif untuk memuaskan penyedia layanan yang menjamin tidak adanya penegakan hukum, sayangnya TikTok akan ditutup pada 19 Januari,” demikian pengumuman TikTok.
Para ahli memperkirakan aplikasi tersebut akan dihapus dari Apple App Store dan Google Play Store, yang dapat menghadapi denda berdasarkan hukum karena terus menjadi tuan rumah TikTok setelah batas waktu.
Itu berarti siapa pun yang tidak memiliki aplikasi tersebut di ponsel mereka tidak dapat mengunduhnya, tetapi pengguna yang sudah ada dapat terus mengaksesnya, tanpa pembaruan keamanan, hingga akhirnya aplikasi tersebut bermasalah atau berhenti berfungsi.
Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan kepada CNN bahwa Presiden Joe Biden yang akan berakhir pemerintahannya bakal menyerahkan keputusan terkait larangan tersebut kepada Donald Trump yang akan dilantik menjadi Presiden AS pada 20 Januari 2025.
“Posisi kami mengenai hal ini sudah jelas: TikTok harus terus beroperasi di bawah kepemilikan Amerika. Mengingat waktu pemberlakuannya adalah sehari sebelum pelantikan Presiden Donald Trump, terserah kepada pemerintahan berikutnya untuk menerapkannya,” kata pejabat tersebut.
Mengingat Trump menjabat sehari setelah larangan tersebut berlaku, dan tidak ada yang secara eksplisit mengenai berlaku atau tidaknya larangan tersebut, maka besar kemungkinan TikTok akan memutuskan sendiri untuk menutup operasi di AS karena terancam denda.
Dengan demikian pengguna TikTok harus bersiap secara mental dan emosional untuk kemungkinan kehilangan akses ke aplikasi tersebut mulai Minggu (19/1/2025), kecuali mereka ingin mengunduh VPN untuk menghindari larangan tersebut.
TikTok diarang beroperasi di AS karena aplikasi tersebut dinilai berpotensi menimbulkan risiko keamanan nasional. Pejabat AS khawatir pemerintah Tiongkok dapat menekan TikTok atau perusahaan induknya, ByteDance, agar menyerahkan informasi pribadi pengguna AS, yang kemudian dapat digunakan untuk operasi intelijen Tiongkok atau penyebaran disinformasi yang didukung Tiongkok.
Belum ada bukti bahwa hal itu benar-benar terjadi. Namun, para pembuat kebijakan dan pakar keamanan mengatakan undang-undang keamanan nasional Tiongkok memungkinkan hal itu terjadi — mengidentifikasi inti risiko yang sesuai dengan narasi anti-Tiongkok yang lebih luas yang terkait dengan berbagai isu termasuk perdagangan, hak asasi manusia, dan otoritarianisme.
Kekhawatiran tersebut muncul kembali setelah sebuah laporan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa data pengguna AS telah berulang kali diakses oleh karyawan yang berbasis di Tiongkok, namun TikTok membantah laporan tersebut. (jea)