Terapkan UU Bahan Baku Kritis, Uni Eropa Hadapi Dilema Mundur dari Nikel Indonesia

BRIEF.ID – Uni Eropa (UE) menghadapi dilema untuk mundur dari produk nikel Indonesia, seiring penerapan Undang-Undang Bahan Baku Kritis, yang mensyaratkan ramah lingkungan dalam rantai pasok mineral penting.

Dalam Undang-Undang Bahan Baku Kritis yang disepakati Dewan Uni Eropa pada April 2024, tercantum 34 mineral penting dan 17 mineral strategis (termasuk nikel) yang penting untuk transisi energi hijau.

Dengan regulasi baru tersebut, perusahaan-perusahaan Eropa diwajibkan membuktikan bahwa mineral penting yang digunakan telah melalui proses yang melindungi lingkungan dan hak asasi manusia (HAM).

Hal itu, mencakup seluruh rantai pasok mineral penting yang dari perusahaan-perusahaan eropa, yang mulai diberlakukan pada tahun 2029.

“Regulasi dan peraturan yang berasal dari Brussel sehubungan dengan Kesepakatan Hijau UE berlaku sama bagi bisnis Eropa dan bisnis asing yang ingin menjual barang atau jasa di UE,” kata Direktur Eksekutif Dewan Bisnis UE-ASEAN, Chris Humphrey, seperti dilansir DW, Kamis (18/7/2024).

Menurut dia, dengan regulasi baru tersebut, perusahaan-perusahaan di Eropa perlu memastikan bahwa operasi mereka di luar negeri mematuhi ketentuan yang disyaratkan dalam Kesepakatan Hijau UE tersebut.

Hal inilah yang menimbulkan dilema bagi perusahaan-perusahaan UE, yang mengambil nikel dari Indonesia, karena berbenturan dengan aturan ramah lingkungan.

Penambangan nikel terbuka dilaporkan menjadi penyebab utama deforestasi di Indonesia, dan penggunaan batu bara untuk menggerakkan pabrik peleburan nikel telah mencemari air.

Namun tak dapat dipungkiri, Indonesia menjadi produsen terbesar nikel dunia. Pada tahun 2022, Indonesia memproduksi hampir setengah nikel dunia, yang banyak digunakan dalam rantai pasok kendaraan listrik dan baterai global.

Pada Juli 2024, BASF dari Jerman dan Eramet dari Prancis menarik diri dari kilang nikel dan kobalt “Sonic Bay” senilai US$2,6 miliar (€2,4 miliar) di Indonesia di tengah kritik bahwa tambang yang memasok kilang tersebut mengancam hutan yang merupakan rumah bagi suku pribumi yang terisolasi.

Kesepakatan ini akan meningkatkan penambangan logam-logam ini secara signifikan dari tambang Weda Bay Nickel yang berada di dekatnya, yang merupakan tambang nikel terbesar di dunia dan bagian dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), di mana Eramet memegang saham minoritas.

Frederick Kliem, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura, mengatakan meskipun sebagian besar perusahaan UE meninggalkan nikel Indonesia karena tidak ramah lingkungan dalam penambangan, hal ini tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan dari negara-negara lain seperti China akan bersedia melakukan langkah serupa.

“Ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Uni Eropa, karena produksi dari perusahaan China akan tetap mengambil nikel dari Indonesia,” ujar Frederick Kliem.

Seperti diketahui, nikel sangat penting dalam transisi global menuju energi ramah lingkungan, namun penambangan sering kali disertai dengan tantangan lingkungan, seperti yang baru-baru ini terjadi pada pertambangan di Indonesia.

Pada tahun 2050, Bank Dunia memperkirakan pasokan nikel tahunan harus meningkat sebesar 208%, dan pasokan tembaga tahunan sebesar 156% dibandingkan dengan tingkat produksi pada tahun 2020, jika tujuan emisi nol bersih global ingin tercapai.

Share post:

Subscribe

spot_imgspot_img

Popular

More like this
Related

Pertemuan Diam-diam Prabowo dan Megawati di Teuku Umar

BRIEF.ID - Presiden Prabowo Subianto menggelar pertemuan diam-diam dengan...

Influencer Ini Bongkar Trump Store Banyak Jual Produk Buatan Tiongkok

BRIEF.ID - Kampanye Donald Trump untuk membuat Amerika kembali...

BEI Lakukan Terobosan Tingkatkan Kepercayaan Investor

BRIEF.ID - Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI)...

Investor Diminta Tidak Panik Respons Penurunan IHSG

BRIEF.ID - Direktur PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk Reza...