Simak, Strategi Kemenperin Tingkatkan Peran Indonesia di Rantai Nilai Global

July 12, 2024

BRIEF.ID – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tengah menyiapkan sejumlah strategi untuk meningkatkan peran Indonesia di rantai nilai global atau global value chain (GVC).

Hal itu, disampaikan Direktur Akses Sumber Daya Industri dan Promosi Internasional (ASDIPI) Direktorat Jenderal Ketahanan Perwilayah dan Akses Industri Nasional Kemenperin, Syahroni Ahmad, dalam konferensi pers, di Jakarta, Jumat (12/7/2024).

“Strategi untuk meningkatkan peran Indonesia di GVC harus dilakukan baik di tingkat pemerintah maupun perusahaan,” kata Syahroni atau akrab disapa Roni.

Menurut dia, strategi yang diterapkan pemerintah, antara lain memberikan pelatihan teknis (khususnya bagi industri kecil menengah atau IKM, misalnya pendampingan ekspor, kebijakan terkait fasilitasi dalam perdagangan internasional, serta market intelligence.

Selain itu, dukungan pemerintah juga dapat dilakukan baik pada aktivitas primer dalam rantai nilai (inbound logistic, operasi, outbound logistic, marketing, jasa) maupun aktivitas pendukung.

Dukungan pemerintah untuk aktivitas pendukung, dapat diberikan melalui insentif tax holiday (untuk firm infrastructure), super tax deduction (untuk pengembangan SDM dan teknologi) dan bea masuk (terkait procurement).

Sedangkan pada aktivitas primer, pemerintah merumuskan aturan terkait TKDN (inbound logistic) dan SNI (outbound logistic), termasuk juga kawasan ekonomi khusus (KEK).

Pada tingkat perusahaan, lanjutnya, strategi peningkatan GVC dapat diberikan melalui pendidikan dan pelatihan, efisiensi manajemen, aliansi strategis dengan multi-national corporations (MNC), serta pemenuhan standard internasional.

Roni mengungkapkan, upaya tersebut dilakukan Kemenperin karena melihat partisipasi Indonesia cenderung menurun dalam GVC, baik forward maupun backward.

Pada tahun 2000, rasio partisipasi forward GVC Indonesia mencapai 21,5 persen, yang kemudian turun menjadi 12,9 persen di tahun 2017. Sedangkan rasio partisipasi backward GVC Indonesia juga turun dari 16,9 persen (tahun 2000) menjadi 10,1 persen (tahun 2017).

Sebagai informasi, Forward GVC adalah suatu negara memafok nilai tambah domestik dengan cara mengekspor produk intermediate ke negara lain. Sedangkan backward GVC yakni suatu negara menggunakan intermediate input dari negara lain untuk menghasilkan produk/jasa akhir

“Rasio partisipasi forward GVC yang lebih tinggi dibandingkan backward GVC ini menunjukkan Indonesia masih lebih banyak terlibat pada aktivitas di hulu (upstream),” ujar Roni.

Apabila dipetakan dalam smiling curve, lanjutnya, keterlibatan Indonesia dalam GVC masih didominasi pada aspek produksi yang berada di periferi rantai suplai/nilai.

Partisipasi tersebut juga masih sedikit pada aspek research and development (R&D) yang perannya lebih sentral/strategis (dan memiliki nilai tambah lebih besar) dalam GVC.

“Hal inilah yang membedakan bagaimana negara maju dan negara berkembang terlibat dalam sebuah GVC, di mana negara maju lebih banyak berkontribusi pada aspek R&D, desain, pemasaran, dan jasa,” ungkap Roni.

Dia menambahkan, melalui partisipasi dalam jaringan rantai suplai/nilai global, Industri Dalam Negeri (IDN) diharapkan akan mengalami peningkatan kualitas SDM serta kualitas produk.

Selain itu, dapat mendorong munculnya inovasi-upgrading-spesialisasi produksi, lebih efisien dan berdaya saing, sehingga mampu membuka akses lebih luas ke pasar internasional.

No Comments

    Leave a Reply