BRIEF.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi (judicial review) terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31/1999 jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Permohonan uji materi diajukan oleh Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai Chevron Indonesia) dan Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara). Pemohon meminta kedua pasal tersebut dibatalkan atau ditambahkan syarat adanya bukti suap menyuap jika tetap diberlakukan.
Kuasa hukum para pemohon, Maqdir Ismail mengatakan, korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi dengan cara meminta, menerima suap atau memeras. Akan tetapi, dalam praktik hukum di Indonesia, seseorang dapat disangka atau didakwa melakukan perbuatan korupsi dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Tipikor.
Sementara itu, penerapan kedua pasal tersebut kerap mengalami deviasi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Bahkan, orang-orang yang beriktikad baik dan tidak punya niat untuk korupsi, dan orang yang menjalankan kewajibannya tanpa menerima suap,bisa menjadi terpidana korupsi. Hal ini terjadi karena perkara korupsi selalu dikaitkan dengan kerugian negara yang tidak nyata dan pasti,” ujar Maqdir melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Dalam hal ini, lanjut Maqdir, pemberantasan korupsi telah gagal menegakkan hukum yang berkeadilan berdasarkan kebenaran. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dihitung tidak berdasarkan standar yang jelas dan tidak berdasarkan atas hukum.
“Acapkali, nilainya mencengangkan, meski kemudian faktanya selalu ditolak dan dinyatakan tidak benar dalam putusan pengadilan,” sebut Maqdir.
Menurut Maqdir, hal tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum dan proses hukum yang dilakukan justru menciptakan ketidakadilan. Cepat atau lambat ketidakpastian hukum ini akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat dan menakutkan para investor.
“Bagi investor, kepastian hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan adalah syarat utama di atas kemudahan-kemudahan ekonomi,” tandas Maqdir.
UU Tipikor tidak memiliki pedoman yang jelas, sehingga dalam membuat tafsir terkait dengan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan dilakukan oleh Mahkamah Agung yang didasarkan pada besarnya kerugian.
Sebagaimana tertera dalam SEMA 7/2012 seseorang akan dipidana dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor apabila kerugian keuangan negara melebihi Rp100 juta. Apabila kerugian keuangan negara tidak mencapai Rp 100 juta, maka yang dikenakan adalah Pasal 3 UU Tipikor.
“Begitu juga halnya dengan ancaman hukuman. Misalnya, berdasarkan Perma 1/2020 Pasal 5, berat ringannya hukuman ditentukan oleh kategori kerugian, tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan, yang memberatkan dan meringankan,” imbuh Maqdir.
Menurut Maqdir, apabila diperlukan pedoman dalam menjatuhkan pidana, seharusnya dibuat berdasarkan ketentuan undang-undang. Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk membuat ketentuan yang seharusnya diatur oleh undang-undang.
“Karena itulah, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan kedua pasal ini. Seandainya Mahkamah Konstitusi menganggap kedua pasal ini tetap diperlukan, maka pada kedua pasal ini harus ditambahkan syarat adanya suap-menyuap,” tandas Maqdir.
No Comments