BRIEF.ID – Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang berlangsung sejak tanggal 27 Maret 2024 hingga 5 April 2024 memberikan gambaran mengenai perseteruan rule by law dan rule of law.
Hal itu, disampaikan Ketua Deputi Hukum Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (Ganjar-Mahfud), dalam Kesimpulan Gugatan PHPU Pilpres 2024 secara daring, pada Rabu (17/4/2024).
Todung menyampaikan, sidang PHPU di MK yang dipertontonkan kepada seluruh rakyat Indonesia juga memberikan gambaran mengenai perseteruan antara mereka yang mengedepankan keadilan prosedural dan tim hukum Ganjar-Mahfud yang menghendaki keadilan substansial.
Dia mengungkapkan, masing-masing pihak memiliki justifikasinya dan tujuannya sendiri, namun akhirnya MK yang menjadi penentu, tentunya dengan mempertimbangkan apa dampaknya bagi bangsa Indonesia di kemudian hari.
Todung menjelaskan, dengan rule by Law maka kekuasaan pemerintah akan terus membesar karena berada di atas hukum. Peraturan perundang-undangan dibuat hanya demi kepentingan pemerintah dan bukan kepentingan rakyat.
“Hukum dipaksakan keberlakuannya kepada masyarakat untuk mengontrol masyarakat,” kata Todung.
Sementara dengan rule of Law semua orang sama di hadapan hukum dan tidak ada yang berada di atas hukum. Dengan pendekatan ini, hukum diadakan memang untuk mengatur sendi kehidupan berbangsa dan bernegara bukan untuk kepentingan penguasa belaka.
Menurut Todung, keadilan prosedural yang diusung baik oleh KPU dan Paslon 2, seolah peraturan perundang-undangan menjadi huruf mati yang perlu diikuti setiap katanya, yang menghendaki bahwa hukum yang ada baik adil maupun tidak tetap harus dipatuhi.
“Karenanya kombinasi antara pendekatan ini dengan kepercayaan mereka terhadap rule by Law sangatlah berbahaya. Masyarakat hanya akan dijadikan pelengkap penderita bagi penguasa saja,” ungkap Todung.
Dengan keadilan substantif yang ditawarkan oleh pemohon, lanjutnya, pembicaraan mengenai keadilan baru akan terwujud manakala hukumnya adalah adil hukum menjadi objek pengamatan dan karenanya budaya berpikir kritis menjadi bagian yang inheren di dalamnya.
Jika pendekatan ini dikombinasikan dengan rule of Law, maka akan tercipta peradaban yang patuh pada hukum karena isinya memang layak untuk dipatuhi bukan semata-mata karena harus dipatuhi.
“Jika dikembalikan kepada titik awal maka pertanyaannya adalah jalan mana yang harus ditempuh majelis hakim konstitusi yang kami muliakan. Secara lebih konseptual perdebatan antara pemohon melawan KPU dan paslon 2 mengulangi perdebatan klasik mengenai hukum alam dan positivisme hukum dan serupa dengan perdebatan klasik ini,” ujar Todung.
Dia mengungkapkan, topik utama dalam persidangan ini adalah moral premis dari argumen pemohon adalah hukum harus bersumber dari moral premis ini selaras dengan adagium yang disampaikan oleh filsuf Agustin bahwa unjust law is no Law at all (hukum yang tidak adil sama sekali bukanlah hukum).
Sedangkan premis dari pemikiran KPU dan Paslon 2 adalah pembicaraan mengenai moral tidak dibutuhkan manakala sudah ada peraturan yang mengaturnya ikuti saja aturannya, tidak perlu pertanyaan tidak perlu kritikan.
Argumentasi KPU dan Paslon 2 itu berporos pada aturan main yang ditentukan dalam undang-undang pemilu khususnya mengenai apa yang menjadi kewenangan dari Mahkamah Konstitusi.
“Sayangnya mereka kemudian tidak setia pada premisnya sendiri. Pertama, untuk penerimaan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mereka menutup mata pada fakta bahwa pada saat Gibran mendaftarkan dirinya sebagai calon peserta Pilpres 2024 pada tanggal 25 Oktober 2023 dan pada saat dokumen pendaftaran yang diverifikasi pada 28 Oktober 2023 aturan main yang berlaku adalah peraturan KPU nomor 19 Tahun 2023 yang masih memperlakukan syarat usia 40 tahun,” tutur Todung.
Menutup Mata
Sehubungan dengan nepotisme dan abuse of power yang terjadi sebelum dan selama proses Pilpres 2024, KPU dan paslon 2 lagi-lagi menutup matanya terhadap aturan yang ada.
Todung menyebut, respons KPU dan Paslon 2 mengenai aturan yang telah berkali-kali bahkan mungkin ratusan kali dilanggar hanyalah dengan mempertanyakan mengapa hal itu baru dipermasalahkan sekarang dan mengapa dipermasalahkan di MK.
Todung menyimpulkan, berdasarkan hal ini KPU dan Paslon 2 tidak peduli tentang terlanggarnya aturan yang menguntungkan mereka, dan hanya peduli pada pelanggaran aturan saat hal itu membahayakan posisinya.
Terkait pelanggaran prosedur pemilu dalam pilpres 2024 yang terjadi hampir di seluruh Indonesia, mata KPU dan mata paslon 2 tetap tertutup. Dalam persidangan, yang paslon 2 kemukakan hanyalah pelanggaran tersebut tidak dilakukan oleh paslon 2 dan belum tentu menjadi keuntungan bagi Paslon 2.
Tanggapan ini memberikan gambaran paripurna dari watak Paslon 2 yang mengedepankan diri sendiri di atas kepentingan negara, mereka tidak peduli jika yang dirugikan dari pelanggaran aturan ini adalah seluruh rakyat Indonesia.
“Jadi meski pemikiran KPU dan paslon 2 bersumber dari positivisme hukum toh mereka tidak ragu untuk mengkhianatinya,” ujar Todung.
Dia menjelaskan, paslon 3 dan paslon 1 dalam pilpres 2024 sama-sama berupaya mengikuti aturan main yang ada, bahkan setelah terjadi pelanggaran aturan main dengan diterimanya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dari paslon 2.
Seandainya pemohon memutuskan untuk tidak mengikuti, proses Pilpres 2024 akan tetap bergulir, sebab pemohon menyadari betul bahwa dijadikannya Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam pilpres 2024 berpotensi membuka keran nepotisme dan abuse of power dalam skala yang tak terbayangkan.
“Pemohon menaruh harapan pada jiwa kenegarawanan Presiden Joko Widodo terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka. Sayangnya pemohon keliru alih-alih bersikap netral, Presiden Joko Widodo malah menggunakan segala daya upaya untuk memastikan agar paslon 2 memenangkan Pilpres 2024,” ungkap Todung.
Terkait dengan itu, pemohon tidak berdiam diri dan telah melaporkan dugaan pelanggaran bahkan memproses masalah tersebut melakui permohonan PHPU ke MK.
Dia menyampaikan, dalam persidangan pemohon dengan konsisten menggunakan premis pemikirannya dalam melihat kondisi yang terjadi. Untuk itu, pemohon mengajak MK untuk melihat kekosongan hukum yang ada dan bertindak untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Hal itu bertujuan agar tercipta keadilan. Artinya ada dasar moral dalam ajakan pemohon ini.
Todung mengatakan, pemohon juga mengajak Mahkamah Konstitusi untuk melihat spektrum pelanggaran dalam pilpres 2024 dengan lebih luas, yaitu untuk melihat pelanggaran dan tidak semata-mata melihat siapa yang diuntungkan. Tujuannya agar integritas pemilu bisa dijamin.
“Ada dasar moral dalam ajakan pemohon kepada majelis hakim konstitusi. Menilik kembali persidangan yang telah berlangsung tampak betul bahwa KPU tidak secara serius menanggapi dalil-dalil pemohon bahkan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh KPU hanya menanggapi perihal Sirekap yang merupakan bagian minor dari permohonan,” kata Todung.
Bahkan, pemohon KPU tidak berusaha untuk mengajukan saksi dan ahli yang dapat menepis dalil keberpihakannya dalam menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres.
Paslon 2 pun tak jauh berbeda sikapnya dengan KPU, di mana mereka membatasi diri pada perdebatan mengenai kewenangan MK. Terkait dalil abuse of power oleh Pj kepala daerah dan efek elektoral dari pembagian bantuan sosial, Paslon 2 memalingkan wajahnya dari isu pokok yang pemohon permasalahkan.
“Ironisnya dalam upaya untuk membangun argumentasinya paslon 2 hanya mampu menghadirkan deretan ahli yang hampir semuanya terafiliasi dengan paslon 2 dan bahkan ada yang tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri sebagaimana disoroti oleh yang mulia hakim konstitusi,” tutur Todung.
No Comments