BRIEF.ID – Pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang mencapai 1,55% sepanjang 2025 membuat sejumlah ekonom angkat bicara.
Pada pembukaan perdagangan hari ini, kurs rupiah terpantau anjlok 0,15% atau 26 poin menjadi Rp16.775 per dolar Amerika Serikat (AS). Angka tersebut menjadi yang terendah sejak 28 April 2025.
Tekanan yang dialami rupiah, membuat Gubernur Bank Indonersia (BI), Perry Warjiyo memberikan keterangan pers untuk memastikan komitmen bank sentral dalam menjaga stabilitas rupiah.
Menurut Perry, Bank Indonesia akan menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Selain di dalam negeri, lanjutnya, BI juga melakukan intervensi di pasar luar negeri, baik di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus, melalui intervensi NDF.
Sejumlah ekonom pun menyoroti pelemahan nilai tukar rupiah yang drastis sepanjang bulan ini, hingga menyentuh level terendah bahkan melampaui Rp16.000 per dolar AS sesuai asumsi makro APBN 2025.
Ekonom UOB Kay Hian, Surya Wijaksana, mengatakan faktor utama penyebab depresiasi rupiah adalah aliran modal keluar (capital outflow) akibat kekhawatiran pelaku pasar baik asing maupun domestik terhadap prospek pengelolaan fiskal Indonesia.
“Meski demikian, volatilitas nilai tukar rupiah masih tergolong terkendali dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan relatif terbatas,” kata Surya, seperti dikutip Bloomberg Technoz, Jumat (26/9/2025).
Ke depan, lanjutnya, pelemahan rupiah masih akan berlanjut, meskipun kecepatannya diperkirakan termoderasi oleh intervensi BI.
Hal itu, terutama didorong ekspektasi penurunan suku bunga BI yang agresif, dan posisi (stance) kebijakan Federal Reserve yang masih hawkish, serta melemahnya ekspor akibat penurunan harga komoditas yang berpotensi memperburuk defisit transaksi berjalan.
“Meskipun rupiah menghadapi tekanan, pondasi pasar keuangan domestik dinilai cukup resilien untuk menyerap dampaknya,” ujar Surya.
Menurut dia, ketahanan rupiah ditopang oleh 3 faktor. Pertama, penurunan signifikan partisipasi asing di pasar finansial Indonesia yang mengurangi dampak guncangan capital outflow.
Kedua, transmisi depresiasi ke inflasi yang minimal berkat rendahnya inflasi dan lemahnya penularan harga global ke konsumsi domestik. Ketiga, dampak positif daya saing ekspor Indonesia.
Tekanan Jual SUN
Jeffrey Zhang, Ahli Strategi Pasar Berkembang Credit Agricole CIB Hong Kong, menyampaikan arus modal keluar yang mempengaruhi pelemahan rupiah terutma dipicu tekanan jual Surat Utang Negara (SUN).
Tingginya tekanan jual membuat imbal hasil (yield) SUN meningkat, terutama di tenor jangka pendek, antara 1 tahun sampai 10 tahun.
Yield SUN tenor 1 tahun naik 2,4 basis poin (bps), dan tenor 5 tahun yang naik 3,4 bps, serta tenor 10 tahun naik 3,3 bps.
Sedangkan SUN tenor 6 tahun melonjak signifikan 5,4 basis poin (bps) di 5,745%, disusul tenor 4 tahun yang juga menguat 4,9 bps di 5,335%.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tekanan jual investor asing terhadap SUN berlangsung masif sepanjang bulan ini.
Per 18 September 2025, posisi asing di SBN terus menurun di level Rp918,47 triliun. Turun Rp35,38 triliun selama bulan ini saja (month–to–date).
Jeffrey mengungkapkan, tekanan jual SUN tersebut dipicu kecemasan pasar yang meningkat, terutama dari para pemodal asing, menyoal risiko fiskal ke depan dan nasib independensi Bank Indonesia.
Pelaku pasar, lanjutnya, juga terus menilai dampak dari berbagai kebijakan baru yang diumumkan pemerintah setelah Purbaya Yudhi Sadewa menjabat sebagai Menteri Keuangan
“Kesehatan fiskal sudah menjadi salah satu kecemasan investor. Ketidakpastian baru akan menambah kehati–hatian di pasar,” komentar Jeffrey, seperti dikutip Bloomberg News, Jumat (26/9/2025).
Deposito Valas
Sementara itu, Chief Economist Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas), Dzulfian Syafrian, mengatakan pelemahan rupiah juga dipengaruhi arahan pemerintah untuk menaikkan suku bunga deposito vaaluta asing (valas).
Arahan yang ditujukan kepada bank Himbara (Himpunan Bank Negara) tersebut, bertujuan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Meski demikian, respons dari pasar, investor, dan para pemegang rupiah malah mulai mengonversi rupiah ke valas karena lebih menguntungkan. Hal ini justru membuat nilai tukar rupiah semakin melemah.
“Seharusnya yang harus diperkuat adalah instrumen-instrumen khusus aliran dana asing yang masuk ke Indonesia, seperti melalui instrumen devisa hasil ekspor (DHE), sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), atau obligasi global,” kata c, seperti dikutip Antara.
Menurut dia, instrumen khusus berupa insentif ini diberlakukan hanya untuk dana asing (capital inflow), sehingga meminimalisir konversi dana domestik dari IDR ke US$.
Dia menilai, intervensi BI untuk menstabilkan nilai rupiah takkan terlalu kuat, bahkan tak bisa dilakukan terlalu lama, karena keterbatasan cadangan devisa Indonesia.
“Apalagi isunya adalah bersifat struktural. Desain kebijakan yang mesti lebih ditingkatkan efektivitasnya,” ungkap Dzulfian. (jea)