BRIEF.ID – Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Kamis (27/2/2025), ditutup merosot ke Rp16.450 per dolar AS, sekaligus menjadi level terendah dalam 8 bulan terakhir.
Bank investasi global, Goldman Sachs, bahkan memperkirakan rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja lebih buruk dibandingkan mata uang Asia lain dalam waktu dekat, dalam riset terbaru yang dirilis hari ini.
Goldman Sachs menyatakan sentimen seputar kebijakan tarif yang diterapkan Presiden AS, Donald Trump, ditambah arus keluar modal asing yang terus berlangsung, akan menjadi faktor utama yang menyeret kinerja rupiah ke depan.
“Rupiah merupakan mata uang paling volatile di kawasan Asia dengan tingkat beda tinggi terhadap dolar AS,” kata Rina Jio, analis Goldman Sachs.
Tekanan faktor musiman seiring pembagian dividen pada Maret dan April 2025, juga akan meningkatkan permintaan dolar AS di Indonesia dan memberi tekanan lebih besar pada rupiah.
Selain itu, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), serta program makan bergizi gratis dan pembangunan 3 juta rumah, yang didorong Presiden Prabowo Subianto, akan meningkatkan defisit fiskal.
Pada perdagangan Kamis (27/2/2025), kurs rupiah di pasar spot ditutup turun 0,49% atau 70 poin ke Rp16.450 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya Rp16.380 per dolar AS.
Pelemahan rupiah hingga menyentuh level 16.450 terakhir terlihat pada 21 Juni 2024. Level tersebut juga menjadikan rupiah sebagai valuta dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia, setelah Won Korea Selatan yang terkoreksi 0,65% dan Baht Thailand 0,60%.
Pelemahan rupiah dipicu sentimen negatif dari global dan domestik. Ketidakpastian yang meningkat karena perang tarif barang impor yang diterapkan Presiden AS, Donald Trump, ditambah sinyal Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga acuan, membuat investor cenderung meninggalkan emerging market karena menguatnya risk-off.
Mayoritas mata uang Asia terbenam bersama dengan tekanan jual yang juga meningkat di pasar saham di kawasan regional Asia.
Hal itu disebabkan investor asing cenderung mengamankan investasinya ke emas dan dolar AS, di tengah ketidakpastian ekonomi global, dan sebagai antisipasi kebijakan tarif barang impor yang akan diberlakukan ASÂ pada awal Maret 2025. (jea)