BRIEF.ID – Pemerintah Indonesia akan menetapkan batas waktu dua tahun bagi perusahaan makanan dan minuman (mamin) untuk memenuhi aturan pelabelan baru bagi produk dengan kadar garam, gula, atau lemak yang tinggi.
Dikutip dari Reuters, langkah ini adalah penundaan upaya untuk mengekang tingkat obesitas yang melaju pesat. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan prevalensi obesitas meningkat dua kali lipat selama lebih dari satu dekade hingga 2023. Sementara badan PBB, UNICEF memperingatkan risiko obesitas yang didapati pada satu dari tiga orang dewasa dan satu dari lima anak usia sekolah di Indonesia.
Masa tenggang untuk mengikuti aturan pelabelan ini menyusul lobi yang dilakukan sejumlah pihak. Yaitu Amerika Serikat, kelompok perdagangan regional Food Industry Asia, dan produsen dalam negeri, yang telah mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan kembali penegakan regulasi pelabelan yang baru pada industri mamin.
“Kami menjelaskan kepada WTO langkah-langkah kami: edukasi dulu, lalu dua tahun dari sekarang, pembatasan diberlakukan,” kata Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam sebuah wawancara ekslusif dengan Reuters.
Ia menjelaskan tanggapan Indonesia tahun lalu terhadap pertanyaan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai rencana pelabelan tersebut. Seperti pembatasan iklan dan larangan penjualan di dekat sekolah untuk produk yang diberi label secara tidak benar.
“Beberapa negara, atau kalau tidak salah, Amerika Serikat, mempertanyakan kebijakan kami,” ujarnya.
Sementara itu, Food Industry Asia, asosiasi anggota perusahaan multinasional makanan dan minuman yang berbasis di Singapura, menyatakan bahwa para anggotanya mendukung rencana dan jadwal pelabelan di Indonesia.
“Pilihan teknis yang terperinci itu penting,” ujar CEO Food Industry Asia Matt Kovac dalam tanggapan email atas pertanyaan Reuters. Dia pun menyebut bahwa tenggat yang diberikan pemerintah Indonesia merupakan hal yang umum dalam perubahan label dan memberi perusahaan waktu untuk beradaptasi.
Pemerintah Indonesia sendiri sebelumnya telah mewajibkan informasi nutrisi yang dicantumkan pada kemasan makanan olahan sejak 2021. Pada 2024 pemerintah Indonesia pernah berencana untuk meluncurkan sistem pelabelan merah untuk produk tinggi lemak, garam, dan gula, serta hijau untuk produk rendah lemak.
Oleh karena itu menurut Nadia mulai akhir 2025, Kemenkes akan mengizinkan perusahaan untuk menggunakan stiker dan deklarasi label tersebut secara mandiri pada produknya sebelum pembatasan berlaku dua tahun kemudian.
Di tataran global, lebih dari 40 negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2023 menggunakan sistem serupa, baik sukarela maupun wajib. Di sisi lain, banyak negara telah menghadapi penolakan keras dari kelompok industri, yang sering berargumen bahwa perusahaan telah mencantumkan kandungan nutrisi produk dengan jelas.
Nadia mengatakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan mencocokkan label dengan isi produk di laboratorium yang ditunjuk pemerintah untuk memastikan keakuratannya. Menurutnya hal ini merupakan tindak lanjut dari upaya kolaborasi dengan perusahaan makanan dan minuman.
“Sulit mengubah kebiasaan (konsumsi masyarakat Indonesia),” tambah Nadia.
Di sisi lain, dalam sebuah dokumen resmi yang dikutip Reuters, para produsen makanan AS meyakini rencana pelabelan tersebut akan memiliki “dampak signifikan” terhadap ekspor barang senilai sekitar US$54 juta ke Indonesia. Oleh karena itu, tenggat waktu 2 tahun tersebut guna mendapatkan masukan dari pihak-pihak terdampak. Industri mamin Indonesia juga telah meminta penundaan pelabelan wajib tersebut.
Sementara itu, advokat kesehatan masyarakat Diah Saminarsih mengatakan Pelabelan makanan terus “terhapus” dari daftar undang-undang prioritas di Indonesia. Hal itu disebabkan karena lobi yang terjadi.
“Industri selalu memberi tekanan pada hal itu. Namun, semakin banyak orang Indonesia yang terjangkit penyakit tidak menular, seperti kanker atau diabetes, akibat makanan yang tidak sehat,” kata Diah yang juga merupakan pendiri lembaga kesehatan non-pemerintah CISDI. (lsw)