BRIEF.ID – Putus cinta atau patah hati dapat memicu luapan emosi negatif yang terasa menyakitkan secara fisik.
Pakar kesehatan asal Inggris, Dr Deborah Lee mengungkapkan, emosi negatif yang muncul dipengaruhi hormon, yakni peningkatan hormon stres kortisol, adrenalin, dan noradrenalin serta penurunan hormon bahagia serotonin dan oksitosin dalam tubuh.
“Ketika putus cinta, kadar oksitosin dan dopamin dalam tubuh seseorang turun. Pada saat yang sama ada peningkatan kadar salah satu hormon yang bertanggung jawab atas stres yakni kortisol,” kata dokter Deborah, seperti dilansir Antara, Jumat (3/2/2023).
Disebutkan Tingkat kortisol yang meningkat akan berkontribusi pada kondisi, seperti tekanan darah tinggi, penambahan berat badan, jerawat, dan peningkatan kecemasan.
Apa yang disebut penolakan sosial, seperti putus dengan pasangan, juga mengaktifkan area otak yang berhubungan dengan rasa sakit fisik, menurut sebuah studi tahun 2011 dalam jurnal Biological Sciences.
Psikolog klinis Eric Ryden menuturkan bahwa efek neurobiologis patah hati bisa sedemikian parah sehingga disamakan dengan rasa sakit fisik sebagaimana dibuktikan gejala fisik seperti nyeri dada dan serangan panik, dan merasa terpukul.
“Patah hati tampaknya melibatkan beberapa mekanisme saraf yang sama dengan rasa sakit fisik,” jelas dia.
Sistem saraf simpatik dan parasimpatis yang biasanya mengimbangi satu sama lain dapat diaktifkan selama patah hati. Sistem saraf simpatik bertanggung jawab atas respons
perlawanan tubuh, mempercepat detak jantung dan pernapasan.
Sementara itu, sistem saraf parasimpatis bertanggung jawab atas tubuh saat istirahat, demikian dilansir Mayo Clinic Neurology Board Review.
Lee mengatakan, hormon yang dilepaskan saat patah hati mengaktifkan dua bagian sistem saraf ini. Otak dan jantung yang merespons menjadi bingung karena menerima pesan yang campur aduk.
“Hal ini bisa mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung, dengan variabilitas detak jantung yang lebih rendah,” kata dia.
Seringkali orang dengan variabilitas detak jantung rendah akan menunjukkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, depresi, dan kurang tidur.
Variabilitas detak jantung dapat digunakan untuk menilai keadaan klinis pada pasien depresi, menurut makalah yang diterbitkan pada Frontiers in Psychiatry, tahun 2019.
No Comments