BRIEF.ID – Penasihat Khusus Presiden Bidang Energi yang juga pendiri Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Prof Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan, perkembangan biodiesel baik dari segi produksi maupun penggunaan jauh lebih cepat dibandingkan bioetanol.
Pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) harus terus didorong untuk membangun kemandirian energi, mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, memperbaiki neraca perdagangan,dan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.
“Pemerintah sebenarnya mengembangkan biodiesel dan bioetanol dalam waktu bersamaan, yakni pada tahun 2006. Dalam perkembangannya, biodiesel yang saat ini sudah sampai B35, lebih cepat,” kata Purnomo saat memberikan closing remarks pada The Ensight bertema “Bioetanol dan Dampaknya terhadap Ketahanan Energi Nasional” di Gedung PYC, Jalan Bulungan 22, Jakarta Selatan, Sabtu (7/12/2024)..
Purnomo yang juga menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tahun 2000-2009, menyatakan, di hulu (upstream) molases untuk memproduksi bioetanol yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan kebutuhan, tetapi sebagian diekspor.
“Sebenarnya, ujungnya adalah keekonomian. Jadi, ke depan, pilihannya dua, apakah ada DMO atau dibentuk badan seperti BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit),” kata Purnomo.
Saat ini, produksi bioetanol di Indonesia sekitar 40 ribu kiloliter (KL) per tahun. Target pemerintah pada tahun 2030 adalah 1,2 juta KL, yang diharapkan dapat mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) sebesar 60%, khususnya untuk jenis bensin, yang mencapai 35,8 juta KL pada tahun 2022.
Data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menunjukkan penurunan produktivitas pada tahun 2023 menjadi 70,7 ton per hektare tebu. Bahkan, saat ini produktivitasnya jauh lebih rendah dibanding level tertinggi pada tahun 2010 yang mencapai 81,8 per ha. (nov)