BRIEF.ID – Penasihat Presiden Bidang Energi, Purnomo Yusgiantoro mendorong partisipasi internasional dan dunia usaha dalam upaya menurunkan emisi karbon di Indonesia.
Pernyataan itu, disampaikan Purnomo di sela peluncuran Center of Excellence for Climate Finance Policy Research, Education, and Training, “RECLICKS,” di Jakarta, Jumat (22/8/2025).
RECLIKS merupakan proyek kerja sama Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) dan University of Waterloo dalam FINCAPES Project yang didanai Pemerintah Kanada, dalam rangka memperkuat kerangka kebijakan perubahan iklim (climate change) di Indonesia, terutama di sektor energi.
Dia menjelaskan, PYC dalam kerja sama dengan University of Waterloo mendukung komitmen pemerintah untuk mewujudkan net zero emission (NZE) pada 2026. Dari hasil kajian yang dilakukan, lanjut Purnomo, diketahui bahwa Indonesia dengan kemampuan domestik dapat menurunkan emisi karbon hingga 30% pada 2030 tanpa bantuan internasional.
“Dengan dorongan pemerintah dan partisipasi dunia usaha, kita bisa menurunkan emisi karbon hingga 30% pada 2030, tetapi kalau ada dukungan luar negeri maka penurunan emisi karbon bisa sampai 40% bahkan lebih. Jadi dukungan luar negeri sangat penting,” kata Purnomo.
Melalui kerja sama riset dengan Waterloo University, lanjutnya, PYC juga fokus mendorong sektor energi untuk berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon di Indonesia. Pasalnya, emisi karbon terbesar disebut berasal dari sektor energi.
“Jadi kita ingin sektor energi juga berpartisipasi dalam mengurangi emisi CO2, dan ini menjadimsalah satu fokus kerja sama PYC dan Waterloo,” ujar Purnomo.
*Kesejahteraan Rakyat*
Purnomo menyampaikan, riset yang dilakukan juga menyoroti dampak climate change bagi kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal kebutuhan dasar (basic priority), yakni sandang, pangan, dan papan.
Sebagai negara berkembang, lanjutnya, masyarakat Indonesia masih fokus pada pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan, sehingga tidak terlalu konsen dengan masalah lingkungan dan perubahan iklim.
Hal ini berbeda dengan negara-negara maju yang kesadaran masyarakatnya sangat tinggi untuk masalah lingkungan dan perubahan iklim, karena kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi.
“Jadi itu yang kita dorong, di samping riset soal Climate Change juga soal sandang, pangan, dan papan untuk kesejahteraan rakyat kita, karena bagaimanapun rakyat kita kan masih memikirkan basic priority dalam hidup mereka,” ungkap Purnomo.
Menurut dia, hal ini sejalan dengan teori hierarchy kebutuhan Maslow, yang ditindaklanjuti dalam riset United Nations Development Programme (UNDP) atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebut suatu negara akan friendly terhadap lingkungan kalau rakyatnya sejahtera.
“Jadi bisa bayangin ya, rakyat kita yang masih memikirkan sandang, pangan, papan, harus mikir masalah lingkungan, tentu masalah lingkungan akan menjadi the second priority atau prioritas kedua,” kata Purnomo.
Hal ini juga diakui oleh Brundtland Commission, yang mendorong negara-negara berkembang untuk ikut memikirkan masalah lingkungan
termasuk climate change, sejalan dengan prioritas memenuhi kesejahteraan rakyat, yakni sandang, pangan, dan papan.
Dengan demikian, riset PYC dan Waterloo juga mendorong partisipasi masyarakat Indonesia dalam masalah perubahan iklim secara pararel dengan pemenuhan kebutuhan dasar.
“Jadi oke untuk negara berkembang penuhi dulu sandang, pangan, papan, tapi juga tidak meninggalkan ini (isu perubahan iklim). Jadi kita jalan paralel saja. Sandang, pangan, dan papan tetap prioritas, tapi kita juga paralel memikirkan masalah lingkungan,” tutur Purnomo. (Nov)