BRIEF.ID – Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengingatkan semua pihak bahwa aktivitas transfer ilegal sebesar Rp 200 miliar ke jaringan kripto global, sampai saat ini tidak terungkap.
Anjak Tindak Pidana Khusus Bareskrim Polri, Kombes Arsal Sahban mengatakan, kasus peretasan BI-Fast yang mengeksploitasi kelemahan sistem perbankan mencuat, setelah terungkap bahwa dana hasil kejahatan dari serangkaian transfer ilegal di sejumlah bank pembangunan daerah (BPD), dengan nilai kerugian mencapai Rp200 miliar.
“Diduga dana itu dialihkan ke aset kripto di pasar internasional melalui berbagai jaringan Blockchain sehingga sulit di lacak. Fakta ini memperlihatkan betapa seriusnya tantangan penegakan hukum dan pengawasan keuangan ketika kejahatan finansial bermigrasi ke jaringan blockchain global yang bergerak cepat dan lintas yurisdiksi,” kata Arsal saat dihubungi di Jakarta, Minggu (21/12/2025).
Arsal menyatakan, kejahatan yang menimpa layanan BI Fast di sektor perbankan bukan hanya sekadar cyber crime, tetapi sudah merupakan cyber dependent financial crime, yaitu kejahatan yang hanya dapat terjadi menggunakan teknologi digital dan sasarannya langsung menembus sektor-sektor keuangan.
“Kalau tidak diwaspadai sejak dini, akan merusak kredibilitas sistem keuangan negara dan kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan” jelas dia.
Disebutkan, kejahatan berbasis blockchain tidak bisa lagi dipandang sebagai kasus siber biasa. Polanya cepat, lintas negara, dan langsung menyasar alur uang.
“Jika tidak diantisipasi menggunakan strategi yang tepat, dampaknya bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga menurunnya kepercayaan pada sistem keuangan nasional,” ujarnya.
10 Strategi
Arsal yang merupakan lulusan terbaik Sanyata Sumanasa Wira Aksara (Novelty), pada Pendidikan Sekolah Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri Dikreg 34 Tahun Ajaran 2025, membahas secara panjang lebar situasi memprihatinkan itu.
Melalui Naskah Strategis Perorangan (Nastrap) Polri, Arsal dinilai menyampaikan ide-ide yang mengandung nilai-nilai kebaruan, sehingga layak mendapatkan penghargaan, yang disematkan Komjen Pol. Prof Chryshnanda Dwilaksana selaku Kelemdiklat Polri.
Ia secara komprehensif dan terukur berhasil merumuskan 10 strategi baik jangka pendek, jangka menengah, dan jangka Panjang dalam menghadapi kejahatan berbasis blockchain.
Strategi jangka pendek, menurut Arsal adalah, pertama menetapkan standar operasional prosedur (SOP) nasional penanganan barang bukti kripto agar penyidikan dan pembuktian blockchain memiliki standar akuntabel.
Kedua, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) untuk kemampuan on chain analysis dan forensik blockchain melalui sertifikasi dari Chainanalysis/TRM Labs/Elliptic/interpol, pelatihan intensif, dan redistribusi penyidik kompeten.
Ketiga, menyelaraskan SOP penyidikan dengan regulasi sektor keuangan (P2SK, POJK, Travel Rule) agar freezing & pemeriksaan VASP lebih efektif.
Strategi jangka menengah, Arsal menjabarkan sedikitnya tiga aspek. Pertama mengintegrasikan tata kelola data blockchain melalui pembangunan National Blockchain Crime Data Hub, lintas fungsi dan lintas instansi.
Kedua, mengintegrasikan data internasional CARF/CRS/AEoI untuk memperluas kemampuan tracing aset kripto lintas negara.
Ketiga, menegosiasikan mekanisme freezing lintas negara melalui crypto focal point (titik fokus), MoU VASP global, dan emergency cooperation.
Arsal mengungkapkan bahwa untuk strategi jangka panjang, paling tidak ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, membangun laboratorium forensik blockchain nasional dengan infrastruktur multi-chain, smart-contract auditor, dan secure cold wallet.
Kedua, mengadaptasi strategi penegakan hukum blockchain melalui peningkatan kapabilitas berkelanjutan dan pembaruan teknologi tracing.
Ketiga, menghilangkan celah regulatory arbitrage antar Kementerian/Lembaga (K/L) lewat pembentukan joint governance framework Polri–Kejaksaan-OJK–BI–PPATK–Direktorat Jenderal Pajak – Bea Cukai – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Keempat, memperkuat peran Polri sebagai rule-shaper agar regulasi blockchain selalu terintegrasi dengan kebutuhan penegakan hukum digital.
“Inilah wajah baru kejahatan saat ini. Kejahatan yang multi-chain, multi yurisdiksi, multi protokol, tanpa wajah, dan tanpa batas negara. Kejahatan seperti ini tidak bisa dihadapi dengan pola lama,” ujar dia. (nov)


