BRIEF.ID – Menanggapi serangan siber yang kembali terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis meminta KPU agar benar-benar menjaga data, supaya tidak bocor, supaya tidak diretas.
“Apapun motifnya, itu tidak bisa diterima” jelas Todung melalui Zoom Meeting, Sabtu (2/12/2023).
“KPU yang sudah memiliki sejarah panjang di negara ini seharusnya mampu menjaga data-data itu. Satu suara itu sangat berharga, satu suara menentukan” ujar Todung.
“Padahal aturan perundang-undangannya dan ancaman hukumannya sudah memadai. Jika memakai UU ITE, pidana menyebar data pribadi itu ancamannya 8-10 tahun penjara atau denda hingga Rp5 miliar. Sementara berdasarkan UU PDP ancamannya 4-5 tahun penjara atau denda hingga Rp5 miliar,” kata Todung menjelaskan.
Hal ini menunjukkan bahwa kendati perangkat hukum telah ada, implementasinya dan penegakan hukum terhadap pelanggaran keamanan data masih menjadi perhatian serius.
Seperti diberitakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menjadi target serangan siber. Pelaku dengan akun anonim bernama Jimbo setidaknya menjual lebih dari 200 juta data DPT seharga US$74 ribu atau sekitar Rp 1,2 miliar. Peretasan ini dilaporkan oleh Lembaga Riset Cyber Indonesia CISSREC. Hal ini memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak.
Belum Ada Perombakan
Sementara itu, Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai bahwa sejak reformasi 98, penyelenggaran pemilu yang dipanitiakan KPU ini belum melakukan perombakan. Semua hal masih dilakukan oleh KPU sendiri. Kemudian jika pengamanan data secara penuh diserahkan ke kepolisian atau lembaga negara lainnya dan dianggap tidak netral, akan berdampak persoalan ini berlalu begitu saja.
“Selama ini keamanan direduksi menjadi masalah polisi saja. Seharusnya pengamanan data di KPU diserahkan kepada vendor swasta yang profesional, jadi jika terjadi kebocoran data, peran kepolisian atau lembaga negara lain adalah sebagai pengawas, mereka dapat menindak tegas pihak swasta tersebut” ujar Bambang di Jakarta, Jumat, (01/12).
Lebih lanjut Bambang berharap agar KPU segera melakukan evaluasi terkait kebocoran ini mengingat Pemilu semakin dekat.
“Harus ada evaluasi terkait kebocoran data ini mengenai apa dan siapa yang membocorkan, karena kalau tidak, maka akan mengurangi legitimasi Pemilu” kata Bambang.
Kesadaran akan perlunya pertanggungjawaban hukum dalam kasus kebocoran data menjadi penting untuk mendorong upaya pencegahan dan penanganan yang lebih efektif di masa depan.
Mengingat kebocoran data juga terjadi pada 2020, di mana sebanyak 2,3 juta data warga dan pemilih dibocorkan peretas menggunakan akun anonim sebagai Underthebreach. Kemudian, pada tahun 2022, akun Bjorka mengklaim menguasai 105 juta data penduduk Indonesia hasil peretasan di situs KPU. Ia menjual data ini sekitar Rp77 juta di BreachForums.
No Comments