BRIEF.ID – Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) berpotensi menimbulkan risiko serius, di antaranya menurunkan volume perdagangan hingga 80% akibat meningkatnya tarif perdagangan.
Pada tahun 2024, total perdagangan barang antara kedua negara mencapai sekitar US$ 582,4 miliar. Rinciannya, ekspor AS ke Tiongkok sebesar US$ 143,5 miliar, sedangkan impor AS dari Tiongkok sebesar US$ 438,9 miliar sehingga menghasilkan defisit perdagangan barang bagi AS sebesar US$ 295,4 miliar.
“Ketegangan perdagangan yang terus meningkat antara Amerika Serikat dan Tiongkok menimbulkan risiko serius terhadap penyusutan tajam dalam hubungan dagang bilateral. Proyeksi awal kami menunjukkan bahwa perdagangan barang antara kedua negara ini bisa menurun hingga 80%,” kata Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, pada Rabu (9/4/2025).
Okonjo-Iweala mengatakan, dampak negatif dari kebijakan tarif tersebut tidak hanya akan dirasakan oleh AS dan Tiongkok saja, tetapi juga akan menjalar ke perekonomian negara-negara lain.
Menurutnya, jika dunia terbelah menjadi dua blok ekonomi yang saling bersaing, hal ini dapat menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) global secara jangka panjang hingga hampir 7%.
Pada tahun 2023, ekspor AS ke Tiongkok mencakup komoditas kedelai senilai US$ 15,2 miliar, minyak mentah (US$ 10,7 miliar), dan gas alam (US$ 10,3 miliar).
Sementara itu, impor utama AS dari Tiongkok meliputi elektronik seperti smartphone, komputer, mainan, dan konsol video game, yang secara kolektif menyumbang 55,5% dari total impor AS dari Tiongkok.
Pada awal tahun 2025, ketegangan perdagangan meningkat dengan pengenaan tarif baru oleh AS sebesar 125% pada impor dari Tiongkok. Sebagai balasan, Tiongkok memberlakukan tarif hingga 84% pada produk AS. Langkah-langkah ini diperkirakan akan mempengaruhi volume perdagangan antara kedua negara di masa mendatang.
Seperti diberitakan, Perang Dagang AS-Tiongkok adalah konflik ekonomi yang berlangsung sejak 2018, dipicu oleh kebijakan proteksionis yang diterapkan AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
AS menuduh Tiongkok melakukan praktik perdagangan tidak adil, seperti pencurian kekayaan intelektual, subsidi industri negara, dan manipulasi mata uang. Tujuan AS adalah mengurangi defisit perdagangan dan memaksa Tiongkok melakukan reformasi struktural dalam ekonominya. (nov)