BRIEF.ID – Diperlukan keterlibatan negara-negara mitra besar untuk meredakan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang kini menjadi salah satu elemen utama ketegangan kedua negara.
Mitra ekonomi dan perdagangan AS yang tergolong besar adalah Kanada, Meksiko, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, India, Vietnam, dan Australia. Sedangkan Tiongkok mitra ekonomi dan perdagangannya adalah ASEAN (khususnya Vietnam, Indonesia, Malaysia, Thailand), Uni Eropa (Jerman, Belanda, Prancis), Rusia, Brasil, Arab Saudi, Persatuan Emirat Arab, Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, dan Iran.
Negosiasi diperlukan sebagai jalan tengah untuk mendamaikan AS dan Tiongkok. Sebab, perang dagang yang dimulai secara intens pada tahun 2018, selain ditandai saling balas menerapkan tarif impor tinggi, juga pembatasan teknologi dan kebijakan proteksionisme lainnya.
Selama era perang dagang, AS menerapkan nilai impor sekitar US$ 370 miliar terhadap Tiongkok atau rata-rata tarif naik dari 3% hingga 19%.
Konflik kedua negara adidaya ini berdampak luas, tidak hanya bagi kedua negara, tetapi juga ekonomi global. Indeks harga saham di berbagai negara, termasuk Indonesia rontok. Nilai tukar Rupiah semakin terpuruk.
Pada 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan perdagangan besar-besaran yang disebut sebagai “Hari Pembebasan” (Liberation Day).
Dalam pidato di Rose Garden Gedung Putih, Presiden Trump menyatakan bahwa kebijakan yang diambilnya itu merupakan deklarasi kemerdekaan ekonomi bagi AS, yang bertujuan mengoreksi praktik perdagangan global yang dianggap tidak adil, merugikan pekerja, dan industri manufaktur AS.
Kebijakan “Hari Pembebasan” dinilai sebagai sebuah langkah besar dalam arah proteksionisme ekonomi. Presiden Trump menegaskan kembali dominasi industri AS, mengurangi ketergantungan impor, serta merespons praktik perdagangan global yang dianggap merugikan pekerja dan produsen AS.
Kebijakan itu berdampak luas. Pasar global goyah, saham di banyak negara turun tajam. Negara-negara mitra dagang bereaksi cepat, dengan puluhan di antaranya mulai mengajukan protes dan negosiasi bilateral.
Ditambah lagi, pada 10 April 2025, Gedung Putih mengumumlan kenaikan tarif resiprokal sebesar 145% terhadap Tiongkok. Dan, Tiongkok membalas dengan pemberlakuan tarif impor produk AS sebesar 84%.
Indonesia, yang terkena tarif 32% langsung menyiapkan langkah mitigasi, terutama untuk industri padat karya seperti tekstil dan elektronik.
Faktor Pemicu
Perang dagang AS vs Tiongkok, yang memuncak kembali pada tahun 2025 di bawah kebijakan proteksionis Presiden Trump, jelas berdampak global yang luas dan kompleks. Konflik dua kekuatan ekonomi terbesar ini tidak hanya mempengaruhi secara bilateral, tetapi juga mengganggu rantai pasok, stabilitas pasar, dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Sedikitnya ada lima faktor yang menjadi pemicu terjadinya perang dagang antara AS vs Tiongkok. Pertama, soal defisit perdagangan. Pemerintah AS menuduh Tiongkok menyebabkan defisit besar karena ekspor negara Tirai Bambu yang sangat besar ke AS.
Kedua, subsidi industri dan BUMN. Tiongkok dituding memberi keunggulan tidak adil bagi perusahaan dalam negerinya.
Ketiga, Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pemerintahan Presiden Donald Trump menuduh Tiongkok melakukan pencurian teknologi dan praktik transfer teknologi secara paksa.
Keempat adalah ketidakseimbangan regulasi. Akses pasar yang tidak seimbang dan hambatan non-tarif dinilai sangat merugikan AS.
Kelima, dominasi teknologi. Persaingan dalam penggunaan artificial intelligent (AI), chip semikonduktor, 5G, dan lainnya.
Pendekatan Multi Level
Disebut-sebut, solusi atas perang dagang AS vs Tiongkok, yang semakin tajam sejak kebijakan “Hari Pembebasan” Presiden Trump diumumkan pada April 2025. Diperlukan pendekatan multi level, selain jalur diplomatik. Di sisi lain, diperlukan langkah-langkah konkret di bidang ekonomi, dan geopolitik.
Karena perang dagang ini bukan hanya soal tarif, tetapi juga terkait kekuatan strategis dan supremasi teknologi sehingga solusinya pun harus komprehensif dan realistis.
Baik AS maupun Tiongkok diharapkan mengaktifkan kembali US-China Trade Talks, seperti yang pernah dilakukan dalam Fase 1 Agreement (2020). Pembicaraan kedua negara harus fokus pada kesetaraan akses pasar, perlindungan kekayaan intelektual, dan transfer teknologi secara adil. Kedua negara juga harus memiliki komitmen politik tinggi untuk menjaga stabilitas global.
Berdasarkan perjanjian itu, Tiongkok berjanji akan membeli tambahan US$ 200 miliar produk AS selama 2 tahun, termasuk produk pertanian (kadelai, jagung, daging), energi, dan barang manufaktur.
Tiongkok juga berkomitmen untuk memperkuat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan menghentikan transfer teknologi paksa. Namun, Tiongkok gagal memenuhi kewajibannya itu karena terkendala merebaknya wabah Covid-29. Sebaliknya, AS berjanji akan menunda tarif tambahan, tapi tidak mencabut semua tarif yang sudah berlaku.
Persoalan kedua negara diperkirakan akan menemukan titik terang apabila ada niat baik dari masing-masing pihak. Selain proses penyelesaian dilakukan bersama, juga diharapkan melibatkan negara-negara mitra besar yang berperan sebagai penyeimbangn serta mediasi melalui forum multilateral seperti WTO, G20, dan APEC.
G20 bisa membentuk panel arbitrase independen untuk mengurai akar konflik dagang dan menetapkan langkah korektif.
Dari sisi perdagangan, AS dan Tiongkok diharapkan mencapai kesepakatan tarif bertahap (Tariff De-escalation Deal), menerapkan peta jalan pengurangan tarif secara bertahap, yang dimulai dari sektor non-sensitif seperti pertanian dan tekstil. Perang dagang belum selesai, persaingan strategis masih berlangsung. (novy lumanauw)