BRIEF.ID – Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, pemberantasan judi daring memerlukan aksi dan langkah konkret setelah Presiden Joko Widodo membentuk Satgas Pemberantasan Judi Online yang diketuai Menko Polhukam Hadi Tjahjanto.
“Pembentukan Satgas Pemberantasan Judi Online ini seolah menjadi angin surga bagi upaya pemberantasan judi online yang lebih serius, tetapi semua tergantung implementasi di lapangan. Bila tidak ada aksi yang konkret, tentu akan menjadi blunder,” kata Bambang seperti diberitakan Antara, Rabu (19/6/2024).
Bambang menaruh harapan besar pada Satgas Pemberantasan Judi Online bisa bekerja maksimal dalam memberantas dan menekan menjamurnya aplikasi judi daring.
Upaya pemberantasan judi daring itu, kata Bambang, seperti hanya tabuhan genderang tanpa ada aksi perang yang sebenarnya. Bahkan, judi daring memakan korban dari aparatur negara yang seharusnya melakukan pemberantasan.
“Akankah pembentukan Satgas Pemberantasan Judi Online yang diketuai Menko Polhukam Hadi Tjahjanto efektif menekan menjamurnya platform atau situs judi online?” tanya Bambang.
Ia menambahkan dalam pemberantasan judi daring memiliki kesulitan tersendiri terkait karakteristik teknologi daring atau siber yang borderless (tanpa batas), lintas batas dan lintas negara, dengan kecepatan perubahan dan produksi konten yang sangat tinggi.
Meskipun demikian, judi daring tidak bisa lepas dari transaksi keuangan yang tetap menggunakan platform-platform yang masih bisa terkendali dan berizin.
“Jadi, langkah pertama bila serius untuk melakukan pemberantasan judi online adalah menutup transaksi keuangan mereka (pelaku) karena kecepatan menutup konten ternyata tak mengalahkan produksi konten judi online,” ujarnya.
Penegakan Hukum
Selanjutnya, kata Bambang, perlu penegakan hukum yang serius dengan menindaklanjuti aliran dana judi daring yang sudah diketahui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
“Terbukti, bandar-bandar besar belum ditangkap, platform konten judi online juga masih terang-terangan di media sosial,” katanya.
Bambang juga mengkritisi langkah aparat penegak hukum yang hanya menangkap operator-operator dan konsumen di level bawah, sementara transaksi yang dilakukan bandar besar belum tersentuh.
“Transaksi Rp327 triliun yang pernah diungkap PPATK tidak ditindaklanjuti dengan serius,” tambahnya.
Sementara itu, lanjut dia, Direktorat Siber Polri yang dibentuk juga masih menyasar konsumen, tidak pernah menyentuh pengelola platform judi daring. Hal ini berakibat munculnya persepsi bahwa ada keterlibatan aparat penegak hukum sebagai beking bandar judi daring.
“Isu konsorsium 303 yang menyeret nama-nama petinggi kepolisian nyaris tidak pernah terkonfirmasi kebenarannya oleh otoritas Polri,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, upaya menjerat pelaku judi daring dengan KUHP dan Undang-Undang ITE ternyata tidak juga membuat efek jera. Pasal 303 KUHP hanya menyebut hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp 25 juta.
Menurut Bambang, bandar judi daring seharusnya juga dijerat dengan pasal terkait undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang bisa menjerat tersangka dengan hukuman penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp 2 miliar.
“Tetapi, itu saja tentu tidak cukup membuat jera. Makanya perlu segera diterbitkan undang-undang terkait perampasan aset hasil kejahatan,” kata Bambang.
No Comments