BRIEF.ID – Esensi pajak karbon bukan semata-mata tentang mencari sumber pendapatan baru atau pun meningkatkan penerimaan pajak yang kini lesu. Pajak karbon menjadi instrumen mewujudkan keadilan dalam upaya menangani krisis iklim dan mengoreksi eksternalitas negatif emisi gas rumah kaca.
Seusai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan kinerja perpajakan per Mei 2024 yang mengalami kontraksi, Kamis (27/6/2024), berbagai kanal media sosial dan pemberitaan dipenuhi komentar agar pemerintah mencari sumber penerimaan pajak baru, salah satunya pajak karbon. Tentu hal itu tidak salah. Namun, rasanya kurang pas jika penerapan pajak karbon justru dititikberatkan pada upaya meningkatkan penerimaan pajak. Mengapa demikian?
Dalam ilmu ekonomi lingkungan ada jenis pajak pigouvian (pigouvian tax) atau pajak atas transaksi pasar yang menimbulkan eksternalitas negatif. Pajak pigouvian pertama kali diperkenalkan ekonom asal Inggris, Arthur C Pigou (1920), untuk mencegah kegagalan pasar dari dampak buruk kegiatan yang dilakukan produsen ataupun konsumen. Contoh pajak pigouvian di berbagai negara, antara lain pajak rokok, pajak gula, dan pajak karbon.
Karena termasuk pajak pigouvian, tujuan utama pajak karbon bukan meningkatkan pendapatan negara, melainkan mengurangi dampak negatif emisi karbon bagi lingkungan. Nantinya pajak karbon dipungut kepada individu atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon. Pendapatan dari pajak karbon umumnya dialokasikan untuk program atau kegiatan penanganan krisis iklim.
Selain itu, secara nilai penerimaan, realisasi pajak karbon juga tidak akan sebesar jenis pajak lain, apalagi Indonesia baru mau memulai tahun 2025. Pajak karbon semula akan diterapkan per 1 April 2022 kemudian ditunda sampai 1 Juli 2025, tetapi akhirnya batal. Implementasi pajak karbon di Indonesia telah diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 6 Oktober 2021.
Dalam UU HPP disebutkan, tarif pajak karbon paling rendah Rp 30.000 per ton karbon dioksida ekuivalen atau US$ 1,93. Jika dihitung menggunakan asumsi emisi gas rumah kaca tahun 2022, potensi pendapatan negara dari pajak karbon hanya sekitar Rp 37,62 triliun. Angka ini terbilang sangat kecil, yakni 2,19% dari total penerimaan pajak Indonesia sepanjang 2022. Bahkan, apabila dibandingkan penerimaan tahun 2023, proporsinya lebih kecil lagi hanya 1,89%.
Tarif pajak karbon Indonesia memang salah satu yang terendah di dunia. Padahal, sebelumnya, tarif pajak karbon yang diusulkan Rp 75.000 per ton karbon dioksida ekuivalen. Tarif pajak karbon Indonesia saat ini tidak jauh berbeda dengan Jepang yang juga sekitar US$ 2. Ada pun tarif pajak karbon yang ditetapkan Singapura per 1 Januari 2024 sebesar US$ 25 per ton karbon dioksida ekuivalen.
Jika dicermati secara global, realisasi pendapatan negara dari pajak karbon memang tidak terlalu besar. Mengutip data Bank Dunia, negara dengan pendapatan pajak karbon terbesar secara berturut-turut adalah Prancis (US$ 8.374 juta), Kanada (US$ 5.719 juta), Swedia (US$ 2.173 juta), Kolumbia Britania (US$ 1.958 juta), dan Jepang (US$ 1.673 juta).
Dampak pajak karbon cenderung lebih besar dalam menurunkan emisi karbon. (Kompas.id)
No Comments