BRIEF.ID – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan total kerugian konsumen atau nasabah akibat scam (penipuan) mencapai Rp8,2 triliun per November 2025 secara tahunan atau year-on-year (yoy) dibandingkan November 2024.
Pernyataan itu, disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindung Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, dalam Dialog Akhir Tahun Dewan Komisioner OJK dengan Industri Jasa Keuangan, yang berlangsung 4-5 Desember 2025.
“Kemajuan teknologi digital memang mendorong inovasi dan inklusi keuangan, namun di sisi lain juga mendatangkan tantangan besar, yakni peningkatan risiko terkait perlindungan konsumen,” kata komisioner OJK yang akrab disapa Kiki, seperti dikutip Brief, Sabtu (6/12/2025).
Dalam 5 tahun terakhir, lanjutnya, pengaduan konsumen terkait penipuan terus meningkat. Pada 2021, OJK mencatat terdapat 12.282 pengaduan dengan 82 di antaranya merupakan pengaduan berindikasi pelanggaran.
Jumlah tersebut terus meningkat menjadi 14.771 pengaduan dengan 402 indikasi pelanggaran pada 2022, 23.043 pengaduan dengan 340 indikasi pelanggaran pada 2023, dan 33.792 pengaduan dengan 1.890 indikasi pelanggaran pada 2024.
Sepanjang tahun ini (hingga 17 November 2025, lanjut Friderika, jumlah pengaduan konsumen terkait kerugian akibat scam dan investasi ilegal lainnya melonjak drastis menjadi 48.355 kasus, dengan 541 indikasi pelanggaran.
Kiki mengungkapkan, nilai kerugian akibat investasi ilegal hingga triwulan III Tahun 2025 tercatat sebesar Rp201,73 miliar. Pada 2024, nilai kerugian akibat investasi ilegal secara tahunan tercatat mencapai Rp2,35 triliun.
Sepanjang 5 tahun terakhir (2021 s.d triwulan III 2025), nilai kerugian akibat investasi ilegal tercatat mencapai Rp126,484 triliun, paling banyak di Tahun 2022 sebesar Rp120,79 triliun.

Dia menuturkan, meningkatnya kerugian nasabah akibat scam dan kegiatan investasi ilegal, merupakan risiko transformasi digital di sektor keuangan.
Menurut Kiki, ada 4 risiko transformasi digital yang dihadapi sektor keuangan, yaitu kesadaran keamanan digital rendah, potensi pencurian identitas dan kebocoran data pribadi, serangan siber, serta peluang dan risiko baru yang terus berkembang.
Terkait dengan peningkatan risiko transformasi digital, lanjutnya, sangat penting bagi pelaku usaha jasa keuangan untuk meningkatkan perlindungan konsumen atau nasabah.
“OJK menilai kepatuhan pelaku usaha jasa keuangan melum merata dalam menerapkan prinsip perlindungan konsumen,” ungkap Kiki.
Adapun kepatuhan Bank Umum dalam menerapkan prinsip perlindungan konsumen sepanjang tahun 2025 mencapai 94,55%, sedangkan BPR/S hanya mencapai 83,32%.
Terkait dengan itu, OJK terus mendorong literasi keuangan dengan menjadikan isu perlindungan konsumen atau nasabah sebagai fokus, terkait pengawasana market conduct di sektor Inovasi Aset Keuangan Digital (IAKD).
Dia menambahkan, ada 6 isu perlindungan konsumen yang menjadi fokus OJK dalam pengawasan market conduct di sektor IAKD. Pertama, mis-leading atau mis-selling penaawaran produk/layanan tertentu.
Kedua, transparansi biaya yang tidak dicantumkan atau diberitahukan kepada konsumen. Ketiga, informasi produk/layanan tidak jelas, tidak akurat, bahkan menyesatkan.
Keempat, kasus fraud yang dilakukan pegawai atau pihak terafiliasi. Kelima, klausul perjanjanjian belum sesuai ketentuan perundang-undangan. Keenam, mekanisme internal dispute resolution (IDR), dan external dispute resolution (EDR), yang belum memadai.
Terkait dengan itu, arah pengawasan market conduct terhadap sektor IAKD ke depan dititikberatkan pada penguatan perilaku pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) dalam membangun budaya treat consumers fairly.
Selain itu, OJK juga akan mengawasi implementasi prinsip perlindungan konsumen yang optimal oleh PUJK maupun pihak ketiga, serta memastikan pertanggungjawaban terhadap kerugian konsumen atau nasabah.
“OJK juga terus berupaya meningkatkan pemahaman PUJK terhadap ketentuan perlindungan konsumen baik melalui sosialisasi maupun metode lainnya,” tutur Kiki. (jea)


