Nasib Family Office di Penghujung Pemerintahan

July 7, 2024

BRIEF.ID – Menjelang akhir jabatan, pemerintah tiba-tiba berencana menjadikan Indonesia sebagai negara destinasi family office. Kebijakan yang dikeluarkan di penghujung pemerintahan, bertujuan menarik dan menampung dana dari keluarga dan kelompok ultrakaya dunia ke Indonesia dengan memberi mereka pembebasan pajak. Singkat kata, Indonesia akan menjadi wilayah ”surga pajak” bagi kelompok superkaya.

Family office, sesuai namanya, adalah organisasi atau firma yang digunakan individu atau keluarga ultrakaya untuk mengelola kekayaan mereka. Kantor keluarga ini berbeda dari lembaga pengelola aset pada umumnya karena keberadaannya khusus untuk mengelola aset dan investasi sekelompok kecil individu atau keluarga ultrakaya.

Kantor keluarga memberikan layanan  komprehensif bagi keluarga ultrakaya. Mulai dari strategi investasi, perencanaan keuangan dan pajak, suksesi keluarga dan perencanaan warisan, kegiatan filantropi, sampai menjadi asisten personal (concierge) yang mengurusi berbagai urusan rumah tangga klien superkaya.

Pemerintah  berencana menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan family office. Kalangan ultrakaya dunia akan diberi kesempatan mendirikan kantor keluarga dan mengelola kekayaan mereka di Indonesia. Sebagai gantinya, dana itu mesti diinvestasikan di Indonesia.

Banyak Kontradiksi

Di balik wacana itu, ada sejumlah kontradiksi. Di satu sisi, keluarga kaya yang mendirikan kantor keluarga akan diberi keistimewaan berupa pembebasan pajak, dengan harapan dana mereka bisa diputar dan diinvestasikan ke berbagai sektor dan proyek di Indonesia.

Padahal, di sisi lain, pemerintah punya kebutuhan mendesak untuk mengerek penerimaan di tengah kinerja pajak yang lesu serta beban belanja dan utang negara yang lebih besar tahun depan. Pemberian fasilitas bebas pajak bagi kantor keluarga bertentangan dengan itu.

Insentif bebas pajak yang diberikan kepada kantor keluarga bisa saja  berbuah manis untuk penerimaan negara jika investasi dari dana orang-orang kaya bisa diarahkan ke sektor riil. Namun, merujuk pada praktik family office di sejumlah negara selama ini, dana tersebut umumnya tidak diinvestasikan di sektor riil, melainkan pada surat berharga, seperti saham atau surat utang.

”Investasi langsung  di sektor riil yang punya dampak multiplier ke ekonomi dan penerimaan negara hanya 10%. Kalau skemanya seperti itu, lalu mereka juga dibebaskan dari pajak korporasi dan pribadi, jelas akan merugikan bagi penerimaan negara. Bukan untung, kita buntung,” kata peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, dikutip dari Kompas.id, Minggu (6/7/2024).

Pemerintah pun belum satu suara mengenai skema pajak bagi family office. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, misalnya, menilai kebijakan pemberian fasilitas pajak demi menarik investasi sudah tidak efektif. Apalagi, di tengah kebutuhan negara untuk menaikkan penerimaan pajak.

”Kita sekarang harus berhemat-hemat untuk memberikan insentif fiskal. Menurut saya, lebih bagus memberi  kemudahan-kemudahan berbisnis ketimbang insentif fiskal. Kasihan Bu Menteri Keuangan, beliau didorong menaikkan tax ratio, tapi juga harus memberikan insentif fiskal,” kata Suharso.

Menurut dia, konsep negara surga pajak (tax haven) yang sering dimanfaatkan kelompok ultrakaya dunia untuk mendirikan kantor keluarga sudah tidak bisa diandalkan.

”Perusahaan yang hebat-hebat itu sudah tidak ada keinginan untuk menghindar dari pembayaran pajak. Apalagi sekarang ini kesadaran dan tuntutan untuk menerapkan ESG (peduli lingkungan, sosial, dan tata kelola) yang baik sudah semakin kuat,” ujarnya.

Presiden Joko Widodo berjalan di depan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kanan), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (dua dari kanan), serta Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (dua dari kiri) di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/6/2024).

Rezim Pajak Berubah

Di sisi lain, rezim pajak global mulai berubah pascapandemi. Hal itu pada akhirnya membawa tantangan baru terhadap praktik pendirian dan pengelolaan kantor keluarga di sejumlah negara.

Mengutip laporan ”Considerations for Family Offices in a Changing Tax Regime: A Global Perspective” oleh HSBC pada 2022, sejumlah negara sedang beramai-ramai melakukan konsolidasi fiskal dan menaikkan tarif pajak atau reformasi pajak setelah kas negaranya sempat habis-habisan dipakai untuk menangani pandemi.

Sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, berencana membidik penerimaan pajak dari kelompok superkaya dan perusahaan besar untuk mendanai berbagai kebijakan, merealisasikan janji kampanye, dan menutup biaya besar yang jorjoran keluar saat pandemi.

Menurut laporan itu, lansekap perpajakan global mulai berubah. Seiring dengan kebutuhan menggenjot penerimaan pajak, kesadaran untuk menarik pajak yang lebih tinggi dari orang-orang ultrakaya semakin tinggi. Ada dorongan yang lebih kuat untuk mewujudkan transparansi pajak dan kebijakan pajak yang adil.

Kondisi itu otomatis memberikan tantangan bagi praktik family office yang selama ini kerap ”bersembunyi” di negara-negara surga pajak. Ke depan, kantor keluarga akan menghadapi tekanan pengawasan yang jauh lebih ketat dan kewajiban pajak yang lebih adil ketimbang sebelumnya.

Tak hanya itu, setelah bertahun-tahun menggantung, kebijakan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) akhirnya bakal direalisasikan di sejumlah negara dalam waktu dekat, termasuk di Indonesia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati bahkan sudah mengumumkan secara resmi dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Mei 2024, bahwa penerapan GMT akan menjadi salah satu strategi kunci untuk menaikkan setoran pajak pada tahun 2025.

GMT adalah pajak minimal yang wajib dibayarkan oleh setiap organisasi dan perusahaan multinasional yang beroperasi di suatu negara. Tarif minimalnya disepakati 15 persen dan dikenakan untuk perusahaan multinasional yang omzet konsolidasinya di atas 750 juta euro atau setara Rp 13,2 triliun.

Tujuan dari kebijakan itu untuk memastikan organisasi multinasional tidak mangkir dari kewajibannya membayar pajak. Selama ini, banyak perusahaan yang menempatkan dananya di negara tax haven yang memungkinkan mereka untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) badan dengan tarif yang sangat kecil, bahkan nihil.

Kontradiksi Pajak Minimum  

Berdasarkan laporan ”The OECD Global Minimum Tax: Impact on Family Offices” oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Dunia (OECD) pada 2023, penerapan GMT otomatis berdampak pada pengelolaan kantor keluarga, selama kantor bersangkutan memiliki dana di atas 750 juta euro atau Rp 13,2 triliun.

Itu karena belum ada definisi yang jelas mengenai perusahaan multinasional yang dimaksud dalam cakupan GMT. Sejauh ini, menurut laporan itu, perusahaan multinasional bisa berupa organisasi apa pun yang lokasinya ada di lebih dari satu yurisdiksi atau negara, termasuk family office.

Fajry mengatakan, rencana family office di Indonesia dapat bertentangan dengan rencana pemerintah menerapkan GMT atas perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia mulai tahun depan.

Dengan penerapan GMT, pembebasan pajak yang menurut rencana diberikan pemerintah untuk kantor keluarga itu jadi sia-sia karena ujung-ujungnya kantor keluarga bersangkutan tetap dipungut tarif pajak minimum global sebesar 15%.

”Tujuan GMT itu, kan, agar tidak ada negara berkembang yang mengobral pajak untuk menarik investasi, mengingat mereka juga butuh pajak untuk membangun negara,” kata Fajry.

Meski demikian, hal itu bergantung pada definisi dan cakupan perusahaan multinasional yang terkena kebijakan GMT. Sebab, sampai sekarang, belum jelas jika family office akan termasuk dalam cakupan GMT atau dikecualikan.

”Yang pasti, kita perlu pertimbangkan jika kemudian penerapan pajak minimum global ini berdampak pada pemberian insentif bagi family office, mengingat hal itu juga belum clear dan perlu dikaji lebih lanjut,” katanya.

No Comments

    Leave a Reply