BRIEF.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan persidangan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) pasca-sidang uji formil rampung, pada pekan lalu.
Majelis hakim konstitusi menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda mendengar keterangan DPR RI dan Presiden, pada Kamis (25/9/2025), tetapi pihak parlemen dan pemerintah meminta penundaan persidangan.
“Persidangan pagi atau siang hari ini seyogianya untuk mendengar keterangan DPR dan pemerintah atau Presiden, tapi Mahkamah, melalui kepaniteraan, menerima surat permohonan penundaan karena keterangan belum siap, baik dari DPR maupun dari Presiden,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Berdasarkan permintaan tersebut, MK menunda persidangan hingga Senin (13/10/2025). Ketua MK berpesan agar tidak ada lagi penundaan mengingat urgensi perkara pengujian materi UU BUMN tersebut.
“Mohon supaya tidak ada lagi permohonan untuk penundaan, ya, karena ini merupakan permohonan yang termasuk urgen. Tolong, nanti DPR sampaikan tahapan sudah dimana ini,” jelas Suhartoyo dikutip dari Antara.
Sidang lanjutan semula dijadwalkan untuk Perkara Nomor 38/PUU-XXIII/2025, 43/PUU-XXIII/2025, 44/PUU-XXIII/2025, dan 80/PUU-XXIII/2025. Perkara Nomor 38 dimohonkan oleh seorang dosen dan advokat, Rega Felix. Dia menguji Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 3AA ayat (2), Pasal 4B, Pasal 9G, Pasal 87 ayat (5), serta penjelasan Pasal 4B dan Pasal 9G UU BUMN.
Pada pokoknya, Rega Felix mempersoalkan norma-norma yang memisahkan kerugian badan, termasuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan kerugian BUMN sebagai kerugian negara.
Menurut dia, pemisahan yang demikian bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang diamanatkan konstitusi, sebab beleid tersebut dinilai akan mempersulit aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus korupsi.
Oleh sebab itu, dalam permohonannya, Rega meminta agar norma kerugian badan dan kerugian BUMN dimaknai menjadi kerugian negara, serta organ, pegawai, direksi, dewan, maupun karyawan badan dan BUMN dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Perkara Nomor 43 diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni A Fahrur Rozi, Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, dan Muhammad Jundi Fathi Rizky. Mereka juga menguji Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), Pasal 3AA ayat (2), Pasal 4B, Pasal 9G, Pasal 87 ayat (5), serta penjelasan Pasal 4B dan Pasal 9G UU BUMN.
Adapun Perkara Nomor 44 dimohonkan oleh perorangan warga negara bernama Heri Hasan Basri dan Solihin. Keduanya meminta agar Pasal 3X ayat (1) serta Pasal 3Y huruf a dan b UU BUMN dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Para pemohon mengaku kehilangan hak konstitusional untuk melaporkan menteri, organ, dan pegawai badan yang diduga melakukan korupsi. Sebab, pasal-pasal itu dinilai memberikan perlindungan tertentu sehingga dianggap tidak sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sementara itu, Perkara Nomor 80 diajukan oleh Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS) bersama tiga perorangan warga negara. Mereka menguji Pasal 3F ayat (2) huruf a dan b, Pasal 3G ayat (2) huruf b dan c, Pasal 3H ayat (2), Pasal 3X ayat (1), serta Pasal 71 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU BUMN. (nov)