BRIEF.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menghukum kekuasaan yang telah merusak demokrasi lewat proses sidang permohohan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, yang diajukan pasangan calon (paslon) nomor urut 1 dan nomor urut 3. Sikap tegas Langkah tegas harus dilakukan MK karena Trias Politika Indonesia, kini terancam rusak.
Pernyataan itu, disampaikan Sosiolog Politik Universitas Nasional Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun dalam acara “Speak Up,” di YouTube Channel Abraham Samad, Kamis (4/4/2024).
Aktivis reformasi 1998 yang akrab disapa Kang Ubed mengungkapkan, Trias Politika ada untuk membatasi kekuasaan agar tidak terjadi otoritarianisme, kleptokrasi, dan despotisme. Itu sebabnya ada pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, Trias Politika Indonesia terancam mengalami kehancuran, seiring praktik kekuasaan yang berlebihan dan dibiarkan tanpa pengawasan,” kata Kang Ubed.
Dia menjelaskan, kekuasaan eksekutif dalam hal ini presiden telah mengabaikan konstitusi, bahkan merusak tatanan demokrasi yang menjadi cita-cita reformasi.
“Legislatif dalam hal ini, DPR juga tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, bahkan cenderung membiarkan kekuasaan berjalan tanpa kritik, sehingga DPR tidak lagi memiliki kewibawaan dan dipercaya rakyat,” kata dia.
Sementara itu, yudikatif dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK) cenderung tak bertaring. Bahkan, MK yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi justru telah menciderai konstitusi. Hal itu tercermin dari putusan nomor 90 MK yang memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi calon wakil presiden (Cawapres) di Pemilu 2024.
MK, lanjutnya, masih diberi peluang dan memiliki ruang untuk memperbaiki kesalahan dengan kembali pada fungsinya dalam menegakkan konstitusi melalui proses persidangan PHPU terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
“Kalau eksekutif sudah mengabaikan moral, melanggar konstitusi, lalu kemudian legislatif tidak berfungsi melakukan pengawasan, maka yudikatif khususnya MK jangan sampai ikut tersumbat. MK bisa menghentikan kekuasaan yang telah merusak demokrasi,” kata Kang Ubed.
Menurut dia, Indonesia perlu belajar dari peristiwa revolusi Prancis yang terjadi karena gagasan Montesquieu yang menekankan pentingnya kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang terpisah agar ada spion of power.
Ketika spion of power itu tidak berjalan akibat tersumbat oleh kekuasaan, dan aspirasi rakyat diabaikan, maka akan terjadi gerakan revolusi yang didorong oleh kekuatan sipil.
Dia menjelaskan, situasi revolusi sangat mungkin terjadi jika seluruh lembaga Trias Politika tersumbat, tidak berfungsi, dan semua kanal-kanal untuk aspirasi rakyat dihambat.
“Kalau ini semuanya dihambat, disumbat kanal-kanal ini, saya tidak bisa menyalahkan kalau terjadi sebuah gerakan sosial besar. Secara keilmuan, akademisi sudah mengingatkan pemerintah, ketika kekuasaan menutup kanal-kanal partisipasi publik di situlah situasi revolusi memungkinkan terjadi,” ujar Kang Ubed.
Dia menyampaikan, situasi ini pula yang kemudian mendorong gerakan sipil pada reformasi 1998, yang menggulingkan Presiden Soeharto dari kekuasaan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama 32 tahun.
Desakan mahasiswa dan rakyat saat itu, membuat Presiden Soeharto memilih mundur sebelum diberhentikan oleh MPR. Langkah tersebut menunjukkan Presiden Soeharto masih memiliki etika atau moral, karena mendengar keinginan rakyat dan memilih menghindari chaos.
Pada saat itu, lanjut Kang Ubed, DPR dan MPR juga mendengar suara rakyat dengan berbalik dari mendukung pemerintahan Soeharto. Hal yang sama pun bisa dilakukan saat ini, ketika akademisi dan mahasiswa mendesak DPR untuk menggulirkan hak angket guna mengusut kecurangan Pemilu 2024.
“Kalau misalnya DPR tiba-tiba sadar, ketua-ketua partai tobat semua, lalu balik kanan ikut keinginan publik dengan memproses hak angket, maka ada kanal aspirasi rakyat tersalurkan, sehingga situasi revolusioner tidak perlu terjadi,” ungkap Kang Ubed.
Namun jika DPR tetap diam, bahkan mengabaikan desakan untuk memproses hak angket, maka MK menjadi garda terakhir untuk menghentikan kekuasaan yang berlebihan dan dikendalikan eksekutif.
Amicus Brief
Kang Ubed mengatakan, hal ini pula yang mendasari gerakan akademisi yang melakukan melahirkan Amicus Brief berdasarkan kajian akademik, yang telah diberikan kepada hakim konstitusi sebagai masukan dalam memproses permohonan PHPU Pilpres 2024.
“Kami membentuk Amicus Kururai itu sahabat pengadilan yang kemudian memproduksi Amicus Brief yang jumlahnya 27 halaman, isinya ada argumen-argumen yang empirik ada argumen-argumen konstitusional ada argumen scientifik yang kita sampaikan kepada hakim-hakim MK yang mengadili perkara PHPU,” tutur Kang Ubed.
Dia mengungkapkan, dalam Amicus Brief, para akademisi memberikan pertimbangan-pertimbangan jernih dan obyektif berdasarkan kebenaran ilmiah
yang dibangun oleh para guru besar dan kelompok Civil Society agar MK dapat menegakkan kebenaran dan keadilan dalam memproses perkara PHPU Pilpres 2024.
Kang Ubed menyampaikan, para cendikiawan berharap putusan dari MK dalam perkara PHPU yang diajukan paslon 1 dan paslon 3 adalah putusan yang adil, objektif mampu menangkap rasa keadilan di masyarakat.
“Kami juga berpesan urusan ini urusan besar, urusan nasib 200 juta lebih penduduk Indonesia, nasib negara ini 5 tahun ke depan yang akan ditentukan oleh 8 hakim MK. Kami berpikir ini harus hati-hati, bahwa hakim MK dalam membuat putusan jangan hanya dengan pertimbangan-pertimbangan kuantitatif, angka-angka tetapi juga menggunakan pertimbangan kualitatif mulai dari prosesnya sebelum hari pemilihan, saat hari pemilihan dan sesudah hari pemilihan,” kata Kang Ubed.
Dia menambahkan, salah satu catatan penting yang disorot akademisi adalah bagaimana pelanggaran etik berat telah terjadi dengan penetapan dan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
“Mudah-mudahan hakim MK masih mempertimbangkan rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat, membuat keputusan yang bisa menyelamatkan bangsa dan negara ini, karena kalau tidak taruhannya masa depan bangsa ini makin suram atau hancur. Saat ini taruhan ada di MK,” kata Kang Ubed yang merupakan
pendiri Komunitas Perhubungan Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) pada 23 Maret 1996 yang kemudian menjadi motor penting dalam gerakan reformasi 1998.
No Comments