oleh Arief B. Sitohang
MERAIH level viral untuk sebuah konten di media sosial (social media) mungkin menjadi pencapaian yang terhitung sulit. Namun hal ini terkadang diidamkan oleh pekerja kreatif di bidang public relations (PR) yang menangani pekerjaan humas dari sebuah organisasi atau merek (brand).
Bahkan, sebagian dari mereka menjadikan viral sebagai salah satu poin dalam key performance indicator (KPI) yang harus dipenuhi. Pertanyaannya, bagaimana merawat kondisi viral tersebut dan bagaimana jika hal viral tersebut datang tidak dalam kondisi yang tidak ideal?
Baru-baru ini, dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh ada dua hal viral di jagat social media yang menarik untuk dilihat dan dijadikan pelajaran. Pertama, akun Twitter Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika @infoBKMG, mendadak menjadi trending topik peringkat 10 pada tanggal 13 Februari lalu. Kondisi viral tersebut terjadi tanpa adanya bencana gempa atau banjir besar yang biasanya selalu dibarengi dengan mention massal kepada akun @infoBKMG.
Nampaknya, viralnya akun @infoBKMG pada saat itu disebabkan oleh release terbaru serial Netflix Forecasting Love and Weather yang tayang mulai 12 Februari 2022. Drama percintaan yang mengambil setting dunia pekerjaan prakiraan cuaca tersebut memantik ingatan netizen terhadap BMKG. Alhasil netizen banyak mencuitkan keyword BMKG di Twitter. Lantas, akun @infoBMKG melakukan respon dengan mencuitkan hal ini:
Langkah akun @infoBKMG mencuit tersebut dianggap suatu respon yang dianggap natural, tidak kaku, namun juga dianggap tidak sok asik. Kontan cuitan tersebut mendapatkan respon yang sangat masif, menyentuh 11,2K Retweet, 3.593 Quote RT, dan 53,4K likes hingga tulisan ini dibuat.
Masih di konten yang sama, mereka juga tidak lupa menyantumkan pesan mengenai bagaimana sulitnya pekerjaan yang terkait dengan memperkirakaan cuaca. Pun, tidak lupa mereka menyampaikan ajakan kepada warganet untuk menginstal aplikasi BMKG.
Dari BMKG ini kita belajar bagaimana menyikap hal viral yang sebetulnya bukan datang dari effort yang dilakukan oleh mereka. Namun admin Twitter BMKG mampu menunggangi isu viral ini (riding the wave) dengan cara yang elegan, ringan dan tidak murahan. Sebetulnya hal ini juga merupakan benih dari rebranding akun yang sudah mereka lakukan dalam beberapa waktu belakangan.
Akun Twitter BMKG sudah mentransformasi cara mereka berkomunikasi dengan audiensnya, tidak hanya dengan mengandalkan informasi gempa dan bencana saja. Lebih jauh dari itu, akun Twitter BMKG sudah mengupayakan cara komunikasi yang renyah dan tidak kaku, sehingga mereka bisa menyisipkan konten-konten mereka secara natural.
Masih dalam periode minggu yang sama, tepatnya pada tanggal 18 Februari 2022, terdapat satu akun aktivasi salah satu brand yang juga mendadak viral. Namun predikat viral tersebut tercapai dalam kondisi yang tidak ideal atau lebih tepatnya berpotensi menjadi krisis reputasi.
Adalah akun @kreasibogasari memberi komentar pada laman Twitter Chef Devina Hermawan yang memposting mengenai harga pisau milik jebolan acara Master Chef tersebut yang mencapai harga Rp42 juta.
Harga pisau yang dianggap fantastis tersebut direspon oleh akun @kreasibogasari dengan cara yang bisa dibilang terlalu edgy, dengan mengatakan “Pisau 42 juta kayaknya bisa buat memotong kemiskinan nih ka”. Tidak lupa emoticon tertawa sampai menangis dicantumkan pada komentar tersebut.
Sontak hal ini membuat heboh. Chef Devina membalas komentar tersebut dengan cara yang lumayan savage, dengan mengatakan “Memotong kemiskinan dapat dimulai dari Bogasari menyumbang 1 ton tepung kepada para pedagang makanan di seluruh Indonesia. Berani menerima tantangan? Tolong bantuan RT-nya saudara-saudara sekalian sampai Bogasari mengabulkannya”.
Tidak lupa Chef Devina menyematkan emoticon tertawa pada komentar balasan. Karena balasan dari Chef Devina mungkin dianggap elegan, netizen langsung menghujani cuitan tersebut hingga akhirnya Bogasari menyanggupi untuk mengabulkan tantangan dari chef jebolan ajang pencarian bakat Master Chef Indonesia season 5 ini.
Jika dikalkulasi secara kasar, menilik laman sejumlah e-commerce, harga 25 kg tepung terigu Bogasari dijual dikisaran harga Rp 200 ribu. Artinya harga 1 ton tepung terigu ditaksir menembus harga Rp 8 juta. Jadi jika jumlah yang akan didonasikan adalah sebesar 10 ton, Bogasari harus merogoh kocek sebesar Rp80 juta di luar ongkir (ongkos kirim) kepada UMKM- UMKM tersebut. Ini adalah harga satu buah cuitan dari akun @kreasibogasari.
Harga ini sebetulnya tidak terlalu mahal untuk sebuah harga agar konten menjadi viral, di mana jika dilakukan secara tidak organik harganya bisa berkali-kali lipat. Namun ongkos perbaikan reputasi krisis yang ditimbulkan juga seharusnya mulai dikalkulasikan oleh tim Humas Bogasari.
Dari Bogasari kita bisa belajar bagaimana cara mengkomunikasikan akun atau asset media social sebuah brand. Karena jika dilakukan tidak dengan hati-hati akan bisa mendatangkan potensi krisis yang luar biasa. Bagaimana bisa satu korporasi yang identik dengan kapitalisme bisa dengan mudahnya mencuitkan mengenai kemiskinan, tentu hal tersebut akan menjadi satu hal yang kontradiksi dan mengernyitkan dahi netizen Indonesia yang dikenal maha kritis.
Namun, dari Bogasari juga kita bisa belajar bagaimana menghadapi satu krisis menjadi satu hal yang positif, sekaligus mereduksi potensi krisis yang bisa merusak reputasi perusahaan. Penanganan yang cepat dan tepat adalah kunci utama dalam menangani potensi krisis reputasi.
Sekarang kita tinggal melihat bagaimana Bogasari memanfaatkan giveaway tepung terigu kepada UMKM ini menjadi satu hal yang berkelanjutan dan bisa berdampak positif kepada reputasi mereka. Syukur-syukur jika bisa berdampak kepada penjualan mereka.
Apakah hal ini murni kecelakaan public relations (PR) atau merupakan satu agenda setting? Banyak spekulasi yang mengatakan bahwa ini semua memang sudah direncanakan karena semuanya berjalan sangat mulus dan dalam rentang waktu yang tepat.
Hal ini bisa saja terjadi, tetapi ada satu hal yang mengganjal. Ini karena akun @kreasibogasari menghapus konten yang menyebutkan mengenai harga pisau Chef Devina yang kemudian menjadi pemicu isu viral ini. Jika memang semua sesuai skenario, kenapa Bogasari sampai harus menghapus konten tersebut?
Lalu apa untungnya bagi Chef Devina dalam isu viral ini? Tentu exposure yang semakin luas bagi dirinya, bahkan beberapa media online sudah mulai menulis mengenai hal ini. Kita juga tidak perlu terheran-heran, jika satu saat saat nanti Chef Devina menjadi BA alias brand ambassador dari Bogasari sebagai salah satu upaya produsen terigu terbesar di Indonesia tersebut untuk memulihkan reputasinya.
Dari dua kasus ini kita bisa belajar bahwa merespon hal yang berpotensi viral terkadang jauh lebih penting dari pada mencapai kondisi viral itu sendiri. Respon yang salah bukan mendatangkan sentimen positif, malah akan mendatangkan sentimen negatif yang bisa berpotensi merusak reputasi perusahaan. So, menurut kalian, apakah hal ini memang murni kecelakaan PR atau agenda setting dari Bogasari?
No Comments