BRIEF.ID – Mangkunegaraan bekerja sama dengan Sarinah menggelar pertunjukan seni “Pamungkasaning Sura”, yang berlangsung selama tiga hari, 25-27 Juli 2025.
Pertunjukan seni tersebut, menandai akhir Bulan Sura, sekaligus sebagai penutup dari rangkaian pameran Bulan Sura yang telah berjalan selama satu bulan di Sarinah.
Pameran Bulan Sura dan pertunjukan seni “Pamungkasaning Sura”, yang digelar di Sarinag, merupakan bagian dari visi
“Culture Future”dari K.G.P.A.A. Mangkoenagoro X, atau dikenal sebagai Gusti Bhre.
Visi “Culture Future” adalah sebuah pengembangan nilai-nilai budaya berdasarkan catatan sejarah yang disesuaikan dengan kehidupan hari ini melalui pendekatan revitalisasi, pengelolaan, dan perawatan warisan budaya.
Melalui pameran dan pertunjukan seni yang digelar di Sarinah, Mangkunegaran ingin Peringatan Bulan Sura tidak hanya berlangsung di lingkungan istana (Pura Mangkunegan), tetapi juga menjangkau ruang-ruang publik sebagai misi memperkenalkan spirit Sura kepada khalayak yang lebih luas.
“Kegiatan pameran dan pertunjukan seni di Sarinah ini merupakan misi Mangkunegaran untuk memperkenalkan tradisi dan makna bulan Sura, sekaligus menjadi gerbang pembuka untuk menyebarluaskan dan melestarikan tradisi ini sebagai kekayaan kebudayaan nusantara,” kata Gusti Bhre, seperti dikutip dari keterangan resmi, di Jakarta, Minggu (27/7/2025).

Sementara Direktur Utam PT Sarinah (InJourney Retail), Raisha Syarfuan, mengatakan pameran dan pertunjukan seni hasil kolaborasi dengan Mangkunegaran dalam rangka memperkenalkan tradisi Bulan Sura, semakin mempertegas keberadaan Sarinah sebagai hub kebudayaan Indonesia.
“Sarinah tidak hanya sekedar memberi ruang untuk menampilkan band dan musisi, tetapi juga kekayaan kebudayaan Indonesia. Kali ini, kami ingin mendekatkan budaya Mangkunegaran kepada masyarakat . Ke depan, kami terbuka untuk berkolaborasi menampilkan berbagai keragaman budaya Indonesia,” kata Raisha kepada Brief.ID.
Makna Bulan Sura
Pada tradisi kalender Jawa, waktu bergerak dalam siklus windu, yaitu delapan tahun dengannama dan makna masing-masing. Dimulai dari Alip sebagai titik awal, disusul Ehe(pertumbuhan), Jimawal (perjuangan), Je (puncak perkembangan), Dal (masa ujian), Be(penataan ulang), Wawu (kematangan), dan Jimakhir (penutup).
Bulan Sura pada kalender Jawa hadir sebagai ruang transisi yang sarat makna. Bukan hanya hanya diawali dengan 1 Sura yang menandai pergantian tahun, bulan Sura juga dianggap sebagai bulan berkah, waktu untuk mengheningkan diri, menata ulang batin, dan meresapi arah perjalanan ke depan.
Tahun ini, bulan Sura menandai peralihan dari tahun Je 1958 ke Dal 1959, masa yang dipercaya penuh tantangan dan membutuhkan keteguhan hati.
Di Mangkunegaran, bulan Sura merupakan daur waktu yang terbagi menjadi tiga bagian:Atita (masa lalu), Atiki (masa kini), dan Anagata (masa depan). Atita dihayati melaluilaku refleksi, Atiki dijalani dalam keheningan tapa bisu, dan Anagata menjadi ruang harapan.
Di sinilah Anagata ditekankan sebagai inti dari bulan Sura, penanda bahwa meski masa lalu dan kini dihayati dengan penuh kesadaran, harapanlah yang menggerakkan langkah. Dalam hening dan doa, Anagata hadir sebagai panduan untuk menapaki masa depan yang belum tergambar.
Dengan kata lain, bulan Sura adalah awal dari segala, yakni pembuka tahun baru, pembuka siklus kehidupan yang baru, dan sekaligus pengingat akan siklus waktu yang terus berputar. Itu sebabnya, Peringatan Bulan Sura di Mangkunegaran tidak hanya berlangsung di lingkungan istana, tetapi juga disebarluarkan melalui ruang-ruang publik.

Tahun ini, Mangkunegaran memilih Sarinah sebagai tempat untuk menggelar pameran dan pertunjukan seni, terkait bulan Sura. Dalam rangkaian Pameran Bulan Sura di Sarinah, Mangkunearan memperkenalkan tradisi dan makna bulan keramat tersebut melalui penayangan dokumentasi, penulisan harapan, instalasi tematik, dan nyanyian serat.
“Mangkunegaran mengajak masyarakat meresapi nilai-nilai hidup yang penuh kesadaran ditengah ritme kehidupan yang serba cepat,” ujar Gusti Bhre.
Pamungkasaning Sura
Sesuai maknanya, Pamungkasaning Sura menandai akhir Bulan Sura, saat untuk mulai melangkah mewujudkan harapan yang telah dipanjatkan (anagata).
Pertunjukan seni Pamungkasaning Sura, dimulai dengan Wilujengan pada hari pertama, kemudian tradisi bokor dan ringgitan (pertunjukan wayang) pada hari kedua, lalu ditutup dengan klenengan pada hari ketiga.
Wilujengan sebagai pembuka menandai laku spiritual, sebuah doa bersama sebagai wujud syukur dan permohonan untuk memulai dengan niat baik, dan keselamatan.
Selain Wilujengan, tarian Mangkunegaran juga digelar pada malam pertama pertunjukan seni Pamungkasaning di Sarinah. Pengunjung juga dapat menikmati wedangan dan kudapan khas Solo yang memperkaya suasana kebersamaan.
Pada malam kedua pertunjukan seni Pamungkasaning Sura, digelar tarian dan ringgitan atau pagelaran wayang, yang menghadirkan budaya Mangkunegaran dalam bentuk yang hidup kepada publik.

Adapun Pagelaran Wayang digelar di Pura Mangkunegaran pada 25 Juli 2025 dan di Sarinah Thamrin pada 26 Juli 2025, sekaligus menyambut datangnya bulan Sapar.
Dalam rangkaian pertunjukan seni di Sarinah, digelar tarian sambutan di ruang pameran pada siang hari. Sementara pada malamnya, dimulai dengan ritual bokor, dilanjutkan ringgitan berbahasa Jawa–Indonesia. Pengunjung juga dapat menikmati nasi liwet,wedangan dan dupa.
Rangkaian ditutup dengan klenengan, tarian, dan penampilan prajurit dalam suasana hangat dan merakyat pada Minggu, 27 Juli 2025 pukul 07.00 – 09.30 WIB. Pengunjung diajak menari dan berfoto bersama, lalu menikmati wedangan jamu sebagai simbol penyegaran diakhir Pamungkasaning Sura.
“Melalui pameran dan pertunjukan seni, Mangkunegaran hadir sebagai rumah budaya Nusantara, yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi semua insan dari berbagai ragam budaya yang ada di Indonesia,” tutur Gusti Bhre. (jea)