BRIEF.ID – Indonesia memerlukan dana sebesar US$ 322,86 miliar untuk memitigasi dan mempercepat transisi energi hijau dalam rangka mengurangi ketergantungan pada energi fosil batubara, minyak, dan gas.
Hal itu disampaikan Anggota Dewan Pembina PYC, Luky Agung Yusgiantoro PhD saat berbicara pada PYC Talks di The Purnomo Yusgiantoro Center, Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Sabtu (26/7/2025).
Kegiatan yang digelar berkolaborasi dengan University of Waterloo, Kanada menghadirkan pembicara, di antaranya Ekonom Senior Bank Indonesia (BI) Arnita Rishanty PhD dan Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia Paul Butarbutar MBA.
Luky mengungkapkan, pendanaan iklim merupakan komponen kunci untuk mempercepat transisi energi nasional. Forum diskusi, lanjutnya, menjadi ruang penting untuk membangun sinergi antara pemerintah, lembaga keuangan, pelaku industri, dan komunitas akademik.
“Pembiayaan iklim memainkan peran penting dalam membuka akses permodalan untuk proyek energi bersih, menjembatani kesenjangan pendanaan, serta mengurangi risiko investasi pada infrastruktur rendah karbon,” jelas dia.
Seperti diketahui, pembiayaan iklim di Indonesia adalah upaya untuk menggalang dan mengelola sumber dana dari dalam dan luar negeri, untuk mendukung program penanganan perubahan iklim, baik berupa mitigasi pengurangan emisi gas rumah kaca maupun adaptasi dampak iklim. Pola pendekatan ini mencakup pendanaan publik, swasta, bilateral, multilateral, hingga mekanisme inovatif seperti obligasi hijau.
Indonesia telah menerima hibah dari Green Climate Fund (GCF) untuk proyek ketahanan iklim dan energi terbarukan. Norway-Indonesia REDD+ Partnership juga telah menyalurkan hibah berbasis hasil (result-based payment) untuk penurunan deforestasi. (nov)