BRIEF.ID – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menyatakan Indonesia memasuki tahun 2025 dengan kinerja ekonomi yang melemah secara subtansial.
Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky, mengatakan kinerja ekonomi Indonesia yang melemah, terlihat dari turunnya daya beli, tergerusnya kelas menengah, dan kemerosotan produktivitas sektoral yang berkepanjangan.
“Hal ini mengirimkan sinyal yang jelas tentang masalah struktural yang signifikan mempengaruhi PDB Indonesia, sebagaimana tercermin dalam angka pertumbuhan sepanjang tahun 2024,” kata Riefky, di Jakarta, Rabu (5/2/2025).
Menurut dia, kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih. Pasalnya, tahun 2025 menjadi penanda dimulainya era pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Riefky menyoroti agenda ambisius pemerintahan Presiden Prabowo untuk meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia menjadi 8% dari target dasar saat ini sebesar 5%.
Hal itu, ditopang dengan berbagai strategi yang dianggap sebagai program “quick-win” yang berfokus pada bidang-bidang penting seperti infrastruktur, pendidikan, perawatan kesehatan, dan ketahanan ekonomi.
Di saat bersamaan, Indonesia menghadapi tekanan tinggi dari aspek internasional, sementara hasil dari program-program prioritasa ini belum terlihat.
Beberapa tekanan tinggi dari aspek internasional pada tahun 2025, yaitu penerapan kebijakan tarif barang impor terhadap Tiongkok, Kanada, dan Kanada, sesuai keputusan eksekutif yang telah ditandatangani Preesiden AS, Donald Trump.
Hal ini memicu era perang dagang baru, yang berpotensi menciptakan risiko tinggi pada nilai tukar dan inflasi, termasuk bagi Indonesia.
Selain itu, ketidakpastian kelanjutan pelonggaran moneter oleh Bank Sentral AS atau Federal reserve (The Fed) juga meningkatkan risiko keuangan global.
“Tanpa strategi mitigasi yang tepat untuk menahan risiko eksternal dan reformasi ekonomi struktural yang konkret, ekonomi Indonesia mungkin tidak dapat tumbuh secara konsisten sebesar 5% dan seterusnya, apalagi untuk mencapai target 8%,” tutur Riefky.
Dia mengungkapkan, acaman eksternal yang harus diantisipasi pemerintahan Presiden Prabowo, antara lain biaya barang impor akan naik secara merata, dipicu oleh perang dagang yang dilancarkan AS.
Selain itu, risiko arus keluar modal (capital outflow) dari negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) akibat meningkatnya ketidakpastian global dan ketegangan geopolitik akan memberikan tekanan sangat besar pada nilai tukar dan pasar keuangan.
Sejauh ini, lanjutnya, LPEM FEB UI belum melihat rencana konkret dari pemerintahan baru dalam menangani masalah produktivitas dan Indonesia mungkin harus terus bergantung pada faktor musiman untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
“Oleh karena itu, kami mempertahankan pandangan kami sebelumnya bahwa ekonomi Indonesia akan memperpanjang lintasan pertumbuhannya saat ini sebesar 5,0% hingga 5,1% untuk tahun fiskal 2025,” ujar Riefky.