BRIEF.ID – Investasi logam mulia, khususnya emas adalah salah satu bentuk investasi jangka panjang yang paling popular, menguntungkan, dan relatif aman saat ini.
Harga emas yang cenderung naik seiring bergulirnya waktu menjadi tumpuan investasi. Emas yang tahan terhadap inflasi dan penurunan nilai mata uang, diperkirakan dalam jangka waktu 10–20 tahun, nilainya akan selalu meningkat.
Emas yang dijuluki Si Kuning mudah dijual kapan saja, baik dalam bentuk fisik maupun digital dan berperan sebagai sebagai lindung nilai (hedging). Disaat pasar saham dan ekonomi global bergejolak, harga emas berjaya. Kilau emas seakan menjadi jurus jitu melawan utang.
Harus diakui, emas tampil sebagai instrument investasi yang aman. Bahkan, kini sesekali, mesin keuangan global mengirim notifikasi bahwa perekonomian dunia tidak lagi digerakkan oleh minyak, teknologi, dan produktivitas. Utang triliunan dollar AS yang terus menumpuk, akhirnya membentuk menara yang menjadi simbol kerapuhan sistem keuangan global.
Tinggi menara utang global itu terus meningkat, menembus angka US$ 433 miliar. Kalangan bankir paling kreatif di dunia, sulit menutup retak-retak yang terbentuk. Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Triwulan II – 2025 tercatat sebesar US$ 433,3 miliar. Pada periode yang sama, rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 30,5 %.
Angka fantastis yang nilainya hampir seukuran ekonomi Amerika Serikat (AS). Fenomena ini sebenarnya terjadi sejak era pandemi Covid-19.
Saat itu, uang gampang, kebijakan longgar, dan kecanduan kolektif pada pinjaman berbunga rendah. Eksperimen besar soal kemakmuran berbasis utang ini, harus diakui belum pernah dibongkar ke publik. Malah, utang menyebar seperti kanker.
Hal ini menggambarkan realitas dunia modern, di mana utang bukan lagi alat bantu pertumbuhan, tetapi penyakit sistemik yang menggerogoti ekonomi global, bangsa, dan kehidupan pribadi.
Pada dasarnya, utang tidak selalu buruk. Dalam porsi sehat, utang bisa menjadi alat produktif, misalnya untuk membangun, berinvestasi, atau meningkatkan kualitas hidup. Utang dapat digunakan untuk mempertahankan gaya hidup dan sistem ekonomi yang tidak realistis.
Bayangkan, para pejabat tinggi yang notabene adalah kalangan pengambil kebijakan, sering kongkow di ruang-ruang mewah, berbisik-bisik soal keberlanjutan fiskal sambil nge-stempel ronde pengeluaran baru lagi.
Pasar obligasi, untuk sementara waktu telah dinina bobokkan oleh bank sentral yang dovish dan lagu pengantar tidur yang samar-samar terdengar dari irama pelemahan dolar AS yang pada tahun ini rontok hingga 10%i.
Setiap poin penurunan dolar berarti setiap poin naiknya utang global nominal. Setiap bisik soal potong suku bunga bikin pesta berhutang ini bertahan lebih lama lagi. Dan, kita sampai pada kebenaran tertua di pasar, apabila dunia menjalankan roda ekonomi menggunakan utang, emas dipastikan menjadi garis pertahanan terakhir.
Yield Signifikan
Emas kini menghasilkan yield signifikan. Emas tidak bisa dicetak dan tidak menjanjikan apa-apa. Justru emas hanya duduk diam di tempatnya, sunyi, dan tidak bisa dirusak.
Sementara itu, pemerintah main sulap dengan liabilitas, bagai pesulap yang mengalihkan perhatian penonton dari kartu AS yang hilang. Saat neraca di berbagai negara membengkak hingga menunjukkan angka absurd, trader yang masih percaya fisika keuangan pun mulai balik lagi ke aset satu-satunya yang tidak berhutang ke siapa pun.
Jangan salah paham, ini bukan siklus utang biasa. Ini utang sebagai fitur permanen di peta global, lautan kewajiban tak berujung yang hanya bisa dibayar bunganya dan tidak akan pernah lunas.
Bahkan, negara-negara andalan seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Jerman, Jepang, dan Prancis terjebak dalam permainan yang sama, main nekad-nekadan dengan defisit fiskal dan pura-pura refinancing jangka pendek, padahal itu strategi jangka panjang.
Laporan Institute of International Finance (IIF) menyatakan, hampir 20% utang pemerintah AS saat ini adalah utang jangka pendek, dengan bill 80% dari penerbitan baru. Itu bukan stabilitas, itu bom waktu.
Washington secara efektif mengubah dirinya menjadi day trader obligasi di pasarnya sendiri dan melakukan pinjaman utang jangka pendek untuk mendanai janji-janji pada masyarakat.
Tentu saja, cara seperti ini harus serius ditangani agar tidak lagi terjadi kemacetan. Dan, disaat semua terhenti, tekanan berat langsung dialamatkan kepada bank sentral AS, The Fed, yaitu memotong suku bunga terus dikumandangkan. Kondisi ini pasti menjadi cerminan cara kemerdekaan moneter mati secara perlahan lahan.
Sementara itu, pasar emerging (EM) juga dihadapkan pada tembok utang sebesar US$ 3,2 triliun, yang penebusan obligasi pada akhir tahun 2025.
Kondisi ini seperti ujian likuiditas bergulir yang bisa berubah jadi kutu penghisap darah, jika sentimen risiko bergoyang sedikit aja. Ironisnya, bahaya sesungguhnya berada di ekonomi negara maju, di mana Bond Vigilantes mulai bergerak.
Harga emas tumbuh subur ketika muncul keraguan dan kelumpuhan kebijakan di bayangan panjang menara utang. Setiap basis poin potong suku bunga, setiap bisik bahwa inflasi terkendali, setiap tanda politik akan menggerakkan roda moneter, yang tentu saja akan memperpanjang narasi di balik kenaikan harga emas. (nov)