BRIEF.ID – Indonesia adalah bangsa yang berdiri dan terbentuk berdasarkan nilai nilai luhur kebudayaan, yang terangkum dalam Pancasila. Pada tahun politik ini, masa-masa di mana unsur unsur politik seperti partai politik (parpol), politisi, dan para calon pemimpin menggemakan tentang siapa yang paling pantas dipilih dan mengapa mereka harus dipilih.
Dinamika politik seperti pembentukan koalisi parpol, kelompok berkuasa atau oposisi, serta peluang di antara para politisi dan partai terus menggema di tengah relung-relung kehidupan berbangsa. Dinamika yang mencuat terkadang tidak diikuti kearifan para kontestan maupun pendukungnya.
Pemilu dan pilkada yang seharusnya menjadi ajang berbagi dan beradu gagasan serta dialektika demi masa depan bangsa yang lebih baik, malah menjadi ajang untuk menebar isu, berita bohong, dan materi materi nirfaedah yang berpotensi mengancam kesejahteraan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
Padahal konsep kesejahteraan umum sesungguhnya berakar pada perspektif sejarah dan filosofis. Pada era Yunani kuno, gagasan tentang kebaikan bersama menjadi inti filosofi politik Aristoteles, yang berpendapat bahwa tujuan negara adalah meningkatkan kesejahteraan semua warga negara.
Memajukan Kesejahteraan
Di Indonesia, konsep kesejahteraan umum tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) yang menyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi ,dan keadilan sosial.
Namun, dalam kontestasi demokrasi yang dilaksanakan melalui Pemilu, tujuan ini terasa semakin menjauh karena para politisi dan parpol cenderung sibuk dengan diri untuk kepentingan sendiri. Usaha menarik simpati masyarakat, alih–alih demi menghadirkan kesejahteraan, kecerdasan, dan ketertiban malah lebih tertuju pada upaya menarik afeksi emosional melalui pendekatan identitas yang memicu perpecahan di masyarakat.
Peta koalisi parpol yang terus berubah-ubah dan dinamis membuat pertarungan politik menjelang Pemilu 2024 makin memanas. Individu maupun kelompok yang terlibat masing masing memiliki tak tik dan strategi sehingga tidak ada lawan maupun teman yang abadi.
Manuver ini membuat kita jauh dari cita-cita luhur bangsa dan nilai-nilai keadaban berkehidupan yang terangkum dalam Pancasila. Para politisi cenderung menempuh tujuan jangka pendek semata demi kekuasaan yang jauh dari tata nilai peradaban demokrasi Pancasila.
Seharusnya politisi, parpol, dan semua unsur yang terlibat dalam Pemilu menjadikan Pancasila sebagai landasan etika politik yang tunduk dan patuh pada nilai-nilai Pancasila, yang merangkum nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini seharusnya dapat diejawantahkan dalam tindakan politik yang memiliki adab.
Para pihak yang terlibat dalam Pemilu selayaknya menyadari bahwa penting untuk menciptakan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Ketika politisi memprioritaskan kesejahteraan umum, mereka cenderung mendukung kebijakan yang mendorong keadilan dan kesetaraan sosial.
Diperlukan perubahan paradigma dari pribadi politisi, parpol, dan calon pemimpin yang menjadi kontestan dalam Pemilu 2024, bahwa memenangkan pemilu tidak semata-mata memenangkan kekuasaan, tetapi membangun kesadaran etika berpolitik bagi seluruh bangsa.
Tujuan proses demokrasi ini adalah membangun tatanan nilai peradaban demokrasi Pancasila, di mana adab dan etika berpolitik menjadi hal mutlak dalam sebuah proses demokrasi demi menjamin kestabilan serta perlindungan bagi seluruh masyarakat.
Maka, pada tahun politik ini sudah seharusnya seluruh pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi tahun 2024 jangan hanya sekadar do ut des, quid pro quo atau bahasa mudahnya Anda jual, saya beli. Kini saatnya semua pihak menyadari bahwa berpolitik harus tunduk kepada cita-cita kemerdekaan bangsa yakni mewujudkan masyarakat sejahtera, cerdas , dan berperan menjaga perdamaian dunia lewat diplomasi publik.
Dengan mempraktikkan politik bebas aktif, jelas akan memberikan rasa aman kepada semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan beribadah, hukum yang adil, tidak diskriminatif, serta membela dan melindungi hak hak wong cilik, khususnya kaum perempuan, anak anak.
Penulis : Antonius Benny Susetyo – Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) – Pendapat Pribadi
No Comments