BRIEF.ID – Ubud menjadi magnet penarik wisatawan ke Bali. Di sisi lain, daya tarik Ubud di Gianyar, sebagai kawasan wisata di Bali, terancam akibat kemacetan yang terjadi. Diperlukan perhatian serius dan langkah strategis untuk menangani kemacetan di kawasan Ubud dan Bali.
Demikianlah benang merah dari diskusi publik dengan topik ”Bali Bicara Macet, Keterlibatan Masyarakat Dalam Perbaikan Mobilitas dan Pengalaman Pariwisata di Bali” yang digelar Koalisi Bali Emisi Nol Bersih bersama World Resources Institute (WRI) Indonesia, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), dan Balebengong.id di Gedung Balai Banjar Ubud Kelod, Ubud, Kabupaten Gianyar, Sabtu (24/2/2024).
Diskusi publik itu juga diisi pemaparan hasil liputan tentang kemacetan dan transportasi publik dari dua jurnalis warga, yakni Ni Putu Satya Sephiarini dan Luh Muni Wiraswari, serta pemaparan tentang perkembangan pariwisata dan dampaknya terhadap tata ruang Bali dari akademisi Universitas Warmadewa, Kota Denpasar, I Nyoman Gede Maha Putra.
Diskusi publik itu dibuka Co-founder Yayasan Mudra Swari Saraswati yang menaungi festival literasi UWRF, I Ketut Suardana.
Dari pemaparan Satya dan Muni tentang kemacetan dan kondisi transportasi publik di Bali terungkap pengalaman keduanya saat menggunakan bus umum dari rumah ke tempat les ataupun ke tempat wisata. Kedua jurnalis warga dari Gianyar itu mengaku layanan transportasi publik sudah ada di Bali, tetapi layanannya belum optimal dan tidak terlepas dari dampak macet. Baik Satya maupun Muni juga menyoroti kondisi jalur pejalan kaki atau trotoar di kawasan wisata di Gianyar yang belum banyak memberikan rasa aman dan nyaman bagi penggunanya.
Perihal kemacetan di Ubud ataupun di sejumlah kawasan wisata di Bali, hal ini tidak lepas dari perkembangan pariwisata Bali. Akademisi yang juga Ketua Program Studi Arsitektur di Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa, Denpasar, I Nyoman Gede Maha Putra menyebutkan, pembangunan di Bali serangkaian pengembangan pariwisata berdampak terhadap perubahan tata ruang di Bali.
Terjadinya peralihan fungsi lahan di Bali, menurut Nyoman Gede, juga disebabkan partisipasi masyarakat lokal yang ingin ikut menikmati manfaat dari pariwisata di wilayahnya, dengan memanfaatkan lahan yang dimilikinya.
”Pola distribusi ini harus ditata dan diatur dengan regulasi,” kata Nyoman Gede. ”Pengembangan tata ruang juga menyesuaikan pembangunan rute transportasi publik,” ujarnya menambahkan.
Dalam diskusi itu, Puteri Indonesia 2022 Laksmi Shari De Neefe Suardana pun membagikan kesannya perihal transportasi di Bali, khususnya di Ubud, yang menjadi tempat tinggalnya. Laksmi mengatakan, kemacetan di Ubud juga membuat ketidaknyamanan bagi warga setempat, selain terhadap wisatawan. ”Ubud enaknya dinikmati dengan berjalan kaki. Lama-lama risi juga jalan kaki karena lebih banyak orang berkendaraan,” kata Laksmi.
Adapun Sofwan Hakim dari WRI Indonesia mengatakan, penanganan kemacetan di Bali, termasuk di Ubud, dapat dimulai dengan memperbaiki fasilitas bagi pejalan kaki sehingga memudahkan dan mendorong orang untuk jalan dibandingkan berkendara. Penanganannya kemudian dilanjutkan dengan perbaikan pelayanan dan fasilitas transportasi publik agar mendorong orang menggunakan sarana transportasi umum.
Upaya berikutnya adalah membangun ekosistem kendaraan listrik tanpa menambah jumlah kendaraan di jalan.
Menurut Ketua Yayasan Bina Wisata Ubud Cokorda Gde Bayu Putra Sukawati, pihaknya menggagas upaya mengeksplorasi kawasan Ubud dengan mendorong wisata berjalan kaki di Ubud. Menurut Cok Bayu Putra, berjalan kaki tidak sekadar terapi, tetapi juga bentuk pelestarian budaya dan keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat Ubud dan juga bagi wisatawannya. Selain itu, konsep ”Ubud Walkable” diharapkan dapat mengurai kemacetan di kawasan Ubud. (Kompas.id)
No Comments