BRIEF.ID – Kebutuhan energi di sektor industri terus meningkat, sehingga potensi energi baru terbarukan (EBT) di Tanah Air harus dioptimalkan.
Pernyataan itu, disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, dalam acara CORE Media Discussion (CMD) dengan tema “Energi Baru dan Terbarukan (EBT): Pendorong atau Penghambat Pertumbuhan Ekonomi?”, pada Rabu (18/12/2024).
Menurut Faisal, penggunaan energi di sektor industri terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2012, penggunaan energi di sektor industri sebesar 400 juta BOE, dan meningkat menjadi 550 juta BOE pada 2022.
Dari kebutuhan energi sektor industri tersebut, penggunaan minyak bumi dan batu bara masih yang tertinggi dibandingkan dengan sumber energi lainnya seperti biomas dan gas.
Terkait dengan itu, Faisal mendorong pemanfaatan EBT harus dioptimalkan. Pasalnya cadangan energi fosil juga semakin menipis.
CORE Indonesia memproyeksikan cadangan energi fosil batu bara dan minyak bumi Indonesia masing-masing hanya tersisa selama 38 tahun dan 21 tahun.
Hal tersebut diukur dengan menggunakan skenario konservatif yang menggunakan perhitungan tingkat produksi per tahunnya diasumsikan sama dengan tingkat produksi pada 2023.
“Dengan kebutuhan energi sektor Industri yang makin meningkat, namun di satu sisi cadangan energi fosil makin menurun, maka kebutuhan EBT menjadi utama dan penting saat ini,” ujar Faisal.
Apalagi sesuai program Net Zero Emission (NZE) 2060, target kebutuhan energi sektor industri diproyeksikan akan makin didominasi oleh listrik dan EBT.
Faisal menjelaskan, realisasi proporsi EBT dalam bauran energi baru sebesar 13,93% hingga semester I 2024. Padahal pada akhir 2024 ditargetkan 19,5%.
“Hal ini menjadikan target bauran EBT untuk 2025 terkoreksi dari 23% menjadi 17%-19% (RPP KEN),” ungkap Faisal.
Untuk mencapai target bauran tersebut, lanjutnya, Indonesia harus mengoptimalkan potensi EBT yang sebagian besar belum dimanfaatkan.
“Pada 2023, potensi energi panas bumi termanfaatkan sebesar 11,29%, hidro termanfaatkan sebesar 6,92%, selanjutnya bioenergi 5,89%, angin 0,10%, surya sebesar 0,02%, sedangkan energi laut masih belum dimanfaatkan sama sekali,” tutur Faisal
Kendala Utama
Sementara itu, Tenaga Ahli Menteri ESDM, Anggawira, mengatakan bahwa masih rendahnya penerapan dan pemanfaatan EBT di Indonesia disebabkan oleh beberapa kendala.
Adapun kendala tersebut, antara lain biaya instalasi pembangkit listrik berbasis EBT yang masih tinggi. Namun dalam jangka panjang pemanfaatan EBT akan dapat menghemat biaya instalasi tersebut.
Kemudian kendala lainnya adalah dari sisi pendanaan, minat lembaga keuangan masih kurang akibat risiko yang tinggi.
Ada juga kendala untuk pengembangan EBT, karena membutuhkan teknologi untuk meningkatkan keandalan dalam bentuk penyimpanan energi.
“Seperti efisiensi konversi dan integrasi jaringan listrik, produksi peralatan EBT di tingkat lokal yang masih terbatas, hingga supply dan demand energi perlu diseimbangkan untuk mencegah ketidakstabilan sistem energi nasional,” kata Anggawira.
Kendala lainnya, dari sisi infrastruktur masih diperlukan jaringan transmisi dan distribusi yang menghubungkan EBT ke pusat konsumsi. Selain itu, proyek EBT skala besar membutuhkan lahan yang luas sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
Saat ini, lanjutnya, pemerintah telah berupaya untuk memberikan dukungan bagi pertumbuhan EBT melalui fasilitasi insentif pajak dan kepabeaan untuk mendorong pertumbuhan EBT dan teknologi bersih.
“Pemerintah juga memberikan subsidi dan kompensasi untuk mendukung pengembangan EBT,” ujar Anggawira.
Dia pun menyebut pengembangan EBT untuk industrialisasi membutuhkan perlindungan untuk keamanan dan kepastian kualitas produk serta kualitas carbon credits.
“Hal ini untuk mencapai nilai keekonomian EBT. Pencapaian target EBT membutuhkan kolaborasi, sense of crisis, dan keberanian menyelesaikan hambatan dan kendala yang ada,” ungkap Anggawira.