BRIEF.ID – Pada penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 9-11 Mei 2023, para Pemimpin negara-negara ASEAN akan mengenakan kemeja dari kain tenun khas Manggarai Barat, bermotif mata manuk. Wastra khas Manggarai pun semakin mendunia.
Istilah wastra adalah nama lain untuk menyebut kain tradisional Indonesia. Indonesia punya empat wastra atau kain tradisional yang sudah mendunia, yaitu kain batik, kain songket, kain ikat, dan kain tenun.
Siapa tak kenal kain batik? Batik, kain khas Indonesia yang dibuat menggunakan canting dan terkenal memiliki keunikan motif hias di setiap daerah.
Batik Indonesia resmi diakui UNESCO, pada 2 Oktober 2009 sebagai Intangible Cultural Heritage atau Warisan Budaya Takbenda pada sidang UNESCO di Abu Dhabi. Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian, mencatat, ekspor batik Indonesia 2021, mencapai US$ 157,8 juta.
Kemudian, ada juga kain songket yang punya motif khas yang indah, dengan perpaduan benang warna emas. Songket yang berasal dari Sumatera Selatan tampil pada pergelaran busana bergengsi DC Fashion Week 2014, yang dibawakan desainer fesyen Muslim Indonesia, Dian Pelangi. Pada tahun 2013, songket Palembang juga resmi sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Kain tradisional lainnya yang berhasil menembus jagad mode dunia adalah kain tenun endek asal Bali. Motif wastra Pulau Dewata ini didominasi warna-warna cerah, seperti merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Kain tenun endek sempat ramai diperbincangkan para pemerhati tata busana dunia, karena masuk sebagai koleksi Spring dan Summer 2021 perancang busana terkenal Christian Dior, pada peragaan busana Paris Fashion Week 2020.
Kain endek kian mendunia setelah digunakan para pemimpin dunia, seperti Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dan Perdana Mentero Inggris Rishi Sunak saat menghadiri Gala Dinner KTT G20 di Garuda Wisnu Kencana, Bali, pada November 2022.
Saat ini, ada kain tenun Ikat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan ciri khas berbeda di tiap daerah, misalnya dari daerah Sikka dengan jenis motif khas figur nelayan, sampan, udang atau kepiting.
Kain tenun ikat dikenal dunia melalui parade busana Paris Fashion Week 2018 di Le Grand Intercontinental Hotel, Paris, Prancis. Desainer Indonesia Julie Laiskodat memamerkan pesona tenun ikat Flores kepada dunia.
Dipakai Pemimpin ASEAN
Momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, juga dimanfaatkan Julie Laiskodat untuk mengangkat kain tenun ikat khas Flores.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT itu telah menyiapkan kemeja dari tenun khas Manggarai Barat untuk dipakai seluruh kepala negara ASEAN dan Sekjen ASEAN dalam KTT ASEAN 2023.
“Saya sudah siapkan, sudah kirim ke Istana Negara, dari UMKM di Kecamatan Lembor, dan Presiden Jokowi sendiri yang memilih kepala negara mana pakai warna apa, itu beliau sendiri yang pilih,” Julie Laiskodat di Labuan Bajo, belum lama ini.
Dekranasda Provinsi NTT telah menyiapkan 12 pasang kain tenun untuk dijadikan kemeja dan digunakan 11 kepala negara ASEAN dan Sekjen ASEAN. Motif yang digunakan pada tenun Manggarai Barat itu motif mata manuk (mata ayam). Adapun untuk warna dan model dari kain tenun tersebut, dipilih langsung oleh Presiden RI Joko Widodo.
Selanjutnya Dekranasda Provinsi NTT menyiapkan selendang yang akan digunakan oleh pasangan dari para kepala negara atau Ibu Negara dalam spouse program. Warna dan model dari selendang yang digunakan nanti dipilih oleh Ibu Negara Iriana Joko Widodo.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana, menurut istri Gubernur NTT itu, kain tenun yang akan digunakan nanti berbahan lembut dan tidak panas.
Pemakaian produk tenun itu sekaligus menjadi ajang promosi kekayaan intelektual tenun yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang patut mendapatkan apresiasi semua pihak.
Masyarakat Manggarai Barat bisa berbangga ketika para kepala negara ASEAN mengenakan kemeja tenun dengan motif mata manuk tersebut.
Sejarah Tenun Ikat Flores
Kain tenun ikat Flores juga dikenal sebagai kain songke. Wastra songke adalah tenun khas masyarakat Manggarai yang tinggal di sisi barat Pulau Flores. Kain tenun ini wajib dikenakan saat acara-acara adat, seperti menghadiri kenduri (penti), membuka ladang (randang), hingga saat musyawarah (nempung).
Sejarah kain ini bermula pada 1613-1640, ketika kerajaan Gowa Makassar, Sulawesi Selatan menguasai hampir seluruh wilayah Manggarai Raya. Terjadilah akulturasi budaya Makassar dan suku Manggarai, sehingga melahirkan tradisi baru, termasuk di dalamnya, cara berbusana sehingga kebudayaan dari Makassar sebagian dibawa ke Manggarai.
Demikian juga kain yang digunakan. Orang Makassar menyebut songke dengan sebutan songket, tetapi orang Manggarai lebih mengenalnya dengan sebutan songke (tanpa akhiran huruf t).
Kaum laki-laki Manggarai biasanya mengenakan (tengge) Songke lalu mengombinasikannya dengan destar atau ikat kepala atau peci khas Manggarai. Sementara itu, para perempuan mengenakan dengan cara yang sama dengan atasan kebaya.
Kain songke juga dipakai para petarung dalam tarian caci serta, dimanfaatkan sebagai mas kawin (belis), hingga untuk membungkus jenazah. Kain ini umumnya berwarna dasar hitam.
Warna hitam bagi orang Manggarai melambangkan kebesaran dan keagungan serta kepasrahan bahwa semua manusia pada suatu saat akan kembali kepada Mori Kraeng (Sang Pencipta). Sedangkan warna benang untuk sulam umumnya warna-warna yang mencolok seperti merah, putih, oranye, dan kuning.
Motif yang dipakai pun tidak sembarang. Setiap motif mengandung arti dan harapan dari orang Manggarai dalam hal kesejahteraan hidup, kesehatan, dan hubungan. Baik antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, maupun dengan Sang Pencipta.
Adapun ada beberapa motif kain tenun Manggarai Barat ini, antara lain, motif mata manuk, motif su’i (garis kehidupan), motif wela ngkaweng (bunga penyembuhan), motif ntala (bintang), wela runu (bunga kecil), dan motif ranggong (laba-laba).
Motif Mata Manuk
Mata manuk artinya mata ayam. Mata manuk pertama kali dibuat Maria Elisabeth C. Pranda saat ia menjabat sebagai Ketua Dekranasda Kabupaten Manggarai Barat, pada 2005- 2010. Maria adalah istri dari Bupati pertama Manggarai Barat, yaitu almarhum Wilfridus Fidelis Pranda.
Menurut Maria, motif mata manuk dengan model trapesium memiliki filosofi nilai budaya dan religius yang sangat tinggi bagi masyarakat Manggarai Barat. Manuk sering digunakan sebagai sarana penyembahan kepada sang pencipta dan leluhur, alam ritus-ritus adat.
“Ayam juga sebagai sarana perdamaian dan persaudaraan, sebagai simbol kejantanan dan keberanian, serta sebagai penolak bala,” katanya.
No Comments