Jakarta, 17 Maret 2022–Keberhasilan Lippo Group menjalankan strategi omnichannel yang mengawinkan layanan digital dengan jaringan usaha konvensional membuat ekosistem bisnis lain pun ramai mengekor strategi tersebut.
Melihat fenomena tersebut, Direktur Eksekutif Lippo Group John Riady mengungkapkan kolaborasi antara lini bisnis konvensional dan digital merupakan keniscayaan di dalam lanskap bisnis era digital.
“Dalam konteks di Indonesia, bisnis konvensional dan digital tidak bisa dilakukan secara fragmentasi maupun parsial. Kemunculan perusahaan teknologi itupun masih juga membutuhkan infrastruktur bisnis konvensional. Ini mengapa Alibaba membeli Departement Store atau di sini Tokopedia dengan MPPA,” ungkap John.
Di bawah kepemimpinan John, Lippo Group sangat berhasrat mengembangkan ekonomi digital, termasuk transformasi grup secara keseluruhan. Untuk itu Lippo Group menjadikan PT Multipolar Tbk. (MLPL) sebagai lengan investasi pada sektor digital, mengingat sedikitnya 40 perusahaan teknologi telah disokong pendanaannya.
Meski demikian, John Riady tidak lantas melepas tentakel bisnis konvensional yang menjadi fondasi Lippo Group. Salah satu dari empat strategi bisnis digital yang dirintis John adalah mengawinkan entitas bisnis digital dengan ekosistem Lippo Group untuk mengokohkan bisnis secara berkelanjutan.
“Kalau dari sisi operasional, selayaknya menerapkan omnichannel yang mengawinkan layanan digital dan fisik, karena biar bagaimanapun transaksi belanja misalnya, sekitar 60% dilakukan offline. Sedangkan untuk model pengembangan, yang terbaik adalah kolaborasi untuk membangun ekosistem yang kuat,” ungkapnya.
Lebih jauh, John mengutarakan bahwa digitalisasi yang tengah berlangsung masif juga tidak bisa dihadapkan vis a vis dengan praktik bisnis konvensional. Biar bagaimanapun, kekuatan bisnis digital harus ditopang dengan keberadaan fungsi aset secara fisik.
Secara sederhana hal ini salah satunya disebabkan faktor demografi yakni besarnya kelompok usia yang membutuhkan pengalaman berbelanja secara fisik. Hal inilah yang mendorong Alibaba untuk mencaplok jaringan department store terbesar di China.
“Sektor atau perusahaan tradisional ini memiliki nilai lebih untuk startup. JD.id melakukan hal sama, karena di China itu, total pasar ritel modern baru sekitar 50%, online 30%, sisanya pasar tradisional,” kata John.
Sedangkan di Indonesia, 60% transaksi masih dijaring pasar tradisional, ritel modern 30%, sedangkan pasar daring baru 10%. “Karena itu strategi yang terbaik masih Omni, mengkombinasikan antara digital dan riil,” tegas John.
Strategi inipun yang melatari kerjasama MPPA dengan GoTo. MPPA yang memiliki jaringan ritel di seluruh Indonesia itupun kini telah meluncurkan pula 31 toko virtual.
Perkawinan bisnis digital dengan konvensional yang terbukti efektif itulah memicu sejumlah entitas bisnis mengekor Lippo, salah duanya adalah pembentukan usaha patungan antara Bukalapak Tbk. (BUKA) dengan Trans Retail Indonesia dan afiliasi Erajaya Group dan kehadiran PT Mitra Belanja Anda yang merupakan kongsi anak usaha Erajaya serta Grand Lucky Group.
Kongsi yang pertama, melahirkan AlloFresh. BUKA bersama Grotheum Capital Partners AlloFresh dengan sokongan Trans Retail Indonesia siap menggarap pasar groseri di Tanah Air. Kerja sama ini akan cukup efektif menggaet pasar melalui cara konvensional maupun digital.
Terlebih lagi, Trans Retail Indonesia telah mengukir pengalaman selama lebih dari dua dekade sebagai pemain ritel, mempunyai jaringan toko hingga pemasok yang luas dan beragam.
Hal serupa juga ditempuh Erajaya bersama kongsinya PT Perjuangan Anak Muda (PAM). Kolaborasi itu akan memanfaatkan keandalan jaringan toko groseri Grand Lucky Group (GLG).
No Comments