Gelaran Kongres ke-5 Partai Amanat Nasional (PAN) telah usai digelar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kongres yang penuh drama, hujan kursi, kaca, darah dan bahkan korban luka itu menghasilkan Zulkifli Hasan sebagai Ketum PAN periode 2020-2025.
Bagi Zulkifli, hasil ini mendobrak tradisi dan mitos yang selama ini ada di partai berlambang matahari itu. Mendobrak tradisi karena Zulkifli merupakan orang pertama yang berhasil memimpin PAN selama 2 periode. Karena sebelum dirinya, calon petahana selalu gagal mempertahankan posisi mereka, sebut saja Amien Rais, Sutrisno Bachir dan Hatta Rajasa. Sementara untuk mitos, Wakil Ketua MPR itu berhasil mematahkan mitos pengaruh Amien Rais dalam setiap pemilihan ketum. Karena Amien di internal PAN dianggap sebagai king maker tiap kali kongres. Bahkan Zulkifli saat maju di tahun 2015, ada campur tangan Amien dalam kemenangannya. Sementara pada kongres kali ini Amien menjagokan Mulfachari Harahap.
Kini Zulkifli berhasil mematahkan semua tradisi dan mitos tersebut. Namun hasil ini tidak datang dengan sendirinya, ada beberapa poin yang menjadi titik balik kemenangan Zulkifli.
Poin pertama dan yang menjadi pintu masuk awal adalah tidak adanya pidato dari Amien Rais dalam pembukaan Kongres ke-5 PAN. Padahal, pidato Amien ini sudah menjadi agenda rutin tiap kali kongres. Dalam pidato ini pula biasanya Amien memberikan kode siapa yang dirinya dukung. Dengan tidak adanya pidato Amien, Zulkifli bisa dianggap menutup pintu rapat-rapat bagi Amien.
Poin kedua, kehadiran Hatta Rajasa dalam kongres. Boleh jadi kehadiran cawapres 2014-2019 ini menjadi obat penawar rindu kader PAN, sebab Hatta lama menghilang dari sorotan kamera dan jarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan partai dan mungkin kader PAN sudah bosan dengan tindak tanduk dan sosok Amien yang selalu tampil sejak Pilpres tahun lalu. Bahkan usai ‘perang kursi’ di awal kongres, Hatta dipilih menjadi imam salat zuhur oleh para kader yang hadir. Mengapa bukan Amien yang menjadi imam? Karena Zulkifli ingin menutup panggung untuk mantan Ketua MPR itu.
Poin ketiga adalah mundurnya mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur, dari kontestasi. Mundurnya Asman bisa dianggap sebagai angin segar dan tambahan suara bagi Zulkifli, apalagi setelah mundur Asman ‘meminta’ pendukungnya untuk mendukung calon petahana itu. Selain itu, mundurnya Asman, yang diprediksi akan menjadi kuda hitam dalam kongres, membuat suara dukungan untuk mengalahkan jagonya Amien dalam kongres menjadi bulat.
Sebab bila Asman dan Zulkifli sama-sama bersaing demi PAN 1, keuntungan besar justru berada di pihak Mulfachri. Karena ceruk pemilih Zulkifli dan Asman cenderung sama, sementara Mulfachri memiliki ceruk pemilihnya sendiri. Hal ini bisa dilihat dari suara yang didapat oleh Zulkifli dan Mulfachri dalam voting, dimana Zulkifli mendapat 331 suara dan Mulfachri 225 suara, Dradjad Wibowo 6 suara dan tidak sah 3 suara. Seandainya Zulkifli, Asman dan Mulfachri tetep bersaing di kongres dengan asumsi suara Zulkifli dan Asman dibagi 2 sementara suara Mulfachri tetap, maka Mulfachri yang akan menang. Apakah keduanya siap menerima risiko tersebut? Tentu tidak.
Kongres sendiri berjalan cukup seru dan menarik. Bahkan kongres ini lebih cocok disebut sebagai sebuah battle royal seperti game PlayerUnknown’s Battlegrounds atau Call of Duty Mobile. Sebab dipenuhi aksi barbar pada kader PAN. Tidak jelas apa pemicu aksi hujan kursi di kongres ini, karena kejadian itu terjadi dalam rapat internal yang digelar tertutup. Mereka yang bertikai menggunakan atribut dan warna yang sama. Pertikain pun membuahkan hasil berupa pintu kaca hotel tempat kongres yang pecah dan korban luka. Tentu saja korban luka merupakan rekan sejawat mereka di partai.
Kita doakan saja semoga tidak ada lagi kejadian serupa di partai lain, karena sebagai salah satu pilar demokrasi, partai seharusnya memberikan contoh dan suri tauladan pada masyarakat bagaimana cara berdemokrasi dan hidup di antara berbagai perbedaan, di tengah kondisi negara yang sedang tidak bersahabat dengan perbedaan.
Bisma