Jakarta, 31 Maret 2022- Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan inflasi Indonesia berpotensi meningkat cukup tinggi tahun ini sehingga mengurangi kecepatan pemulihan konsumsi swasta, sebagai dampak lonjakan harga berbagai komoditas global yang dipicu perang Rusia- Ukraina.
“Kenaikan beberapa harga barang impor, khususnya bahan bakar dan pangan berpotensi mendorong inflasi cukup tinggi tahun ini,” tulis CORE Indonesia dalam siaran pers bertajuk Mengukur Dampak Ekonomi Konflik Rusia-Ukraina yang diterima hari ini, Kamis (31/3).
Kenaikan harga bahan bakar tersebut telah terekam pada inflasi Kelompok pengeluaran Perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar Rumah Tangga di bulan Februari. Beberapa komoditas, khususnya gandum dan jagung, juga akan mengerek inflasi. Apalagi, berbagai makanan jadi, seperti mie instan dan roti, sangat bergantung pada gandum impor. Kelompok penduduk miskin dan hampir miskin paling terdampak dari kenaikan ini.
Ke depannya, lanjut CORE, selain kenaikan harga BBM dan makanan jadi, beberapa faktor yang akan menyumbang inflasi, yaitu pencabutan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan premium, penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen per April 2022, dan potensi kenaikan harga gandum di pasar dunia yang telah mencapai US$335 per ton pada Maret 2022, naik 46 persen dari tahun lalu.
Seperti diketahui, invasi Rusia ke Ukraina telah menimbulkan dampak kemanusiaan yang memprihatinkan, meskipun belum memperlihatkan tanda akan segera berakhir. Lebih dari 6,5 juta orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya, dan lebih dari tiga juta orang telah mengungsi ke berbagai negara di luar Ukraina.
Perang Rusia dan Ukraina tersebut tidak hanya berdampak pada kedua negara tetapi juga telah berdampak luas pada perekonomian global, terutama melalui jalur kenaikan harga komoditas energi dan pangan.
“Perekonomian global yang mulai pulih dari pandemi, kini kembali mengalami tekanan akibat perang tersebut. Terganggunya supply chain selama masa perang dan kekhawatiran eskalasi perang yang semakin meluas, menyebabkan harga berbagai komoditas meningkat tajam,” demikian tulis CORE.
Harga minyak mentah misalnya sudah di atas US$ 100 per barrel. Sementara batubara masih berada di atas US$ 300 per ton. Dalam analisa CORE, kenaikan harga komoditas tersebut tidak hanya meningkatkan biaya impor, tetapi juga telah mendorong kenaikan inflasi yang cukup signifikan di berbagai negara. Harga gandum juga naik cukup tajam, dari US$ 800/bushel sebelum invasi menjadi hampir 1.100/bushel, mendekati rekor tahun 2008, yang menyebabkan krisis pangan di berbagai negara.
“PBB bahkan memperingatkan beberapa negara, terutama di kawasan Afrika dan Timur Tengah, berpotensi mengalami bencana kelaparan yang semakin parah akibat meningkatnya harga pangan impor tersebut.”
Di dalam negeri, peningkatan harga komoditas di pasar global tersebut akan berpengaruh signifikan pada peningkatan ekspor Indonesia. Meskipun di sisi lain, nilai beberapa impor komoditas, seperti minyak mentah, gas alam, dan pangan, juga akan menekan surplus Neraca Perdagangan Indonesia.
Beberapa ekspor komoditas naik tajam pada Februari 2022, meskipun volumenya relatif stagnan. Kebijakan pemerintah yang mencabut Domestic Market Obligation (DMO) untuk batubara dan CPO dan turunannya juga akan kembali memperkuat laju pertumbuhan ekspor.
Sebelumnya, pada Januari 2022, pemerintah sempat menerapkan larangan ekspor batubara untuk mengamankan pasokan batubara untuk PLN dan industri domestik. Larangan itu kemudian dicabut setelah mendapatkan protes dari produsen dan konsumen ekspor. Kemudian, sebagai respon atas langkanya minyak goreng, pemerintah juga menerapkan DMO CPO dan turunannya sebesar 20 persen dan kemudian naik menjadi 30 persen. Namun, aturan tersebut hanya berumur kurang dari dua bulan.
No Comments