BRIEF.ID-Industri manufaktur di Tanah Air konsisten berada pada level ekspansif, tercermin dari capaian Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia dengan posisi di atas poin 50 sepanjang tahun 2022.
Pada Desember 2022, PMI Manufaktur Indonesia ditutup pada tingkat 50,9 atau naik dibandingkan perolehan bulan sebelumnya yang menyentuh angka 50,3.
“Alhamdulillah, capaian PMI Manufaktur Indonesia pada Desember 2022 tetap ekspansif, yang sesuai juga dengan capaian Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Desember 2022 yang sudah kami rilis sebelumnya, yang sama-sama berada dalam level 50,9 dan juga naik dibandingkan bulan sebelumnya,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita seperti dilansir Antara, Selasa (3/1/2023).
Ia mengatakan, PMI Manufaktur Indonesia pada Desember 2022 berhasil melampaui PMI Manufaktur Jerman (47,4), Jepang (48,8), Australia (50,4), Myanmar (42,1), Belanda (48,6), Prancis (47,4), Korea Selatan (48,2), Inggris (44,7), Amerika Serikat (46,2), dan Zona Eropa (47,8).
Berdasarkan hasil survei yang dirilis S&P Global, PMI Manufaktur Indonesia bertahan dalam fase ekspansif selama 16 bulan berturut-turut sejak September 2021. Kinerja positif ini menunjukkan geliat industri manufaktur nasional terus mengalami perbaikan dan semakin pulih setelah terkena dampak pandemi Covid-19 dan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu karena ancaman resesi.
Menperin optimistis, deru mesin sektor industri manufaktur di Indonesia masih bergemuruh pada tahun kelinci air. Artinya, produktivitas berjalan baik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
“Kami meyakini, kinerja industri manufaktur kita akan semakin tumbuh di tahun 2023 ini, seiring dengan berbagai kebijakan strategis yang sedang disiapkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Kementerian Perindustrian, lanjutnya, sedang menyusun strategi untuk mengatasi persoalan ketenagakerjaan di sektor industri, khususnya industri tekstil, alas kaki, dan furnitur yang merupakan sektor padat karya.
“Kami sedang menyiapkan kebijakan stimulus tersebut, di antaranya adalah larangan terbatas impor, penyesuaian pemeriksaan post border menjadi border, dan fleksibel jam kerja. Itu yang kami minta untuk direlaksasi, paling tidak sampai kondisi normal,” paparnya.
Di samping itu, menurut Menperin, kebijakan pemberian insentif untuk kendaraan listrik sedang dalam tahap finalisasi.
“Kebijakan ini diambil untuk mendorong percepatan dalam pengembangan industri berbasis listrik di Indonesia. Tidak hanya mobil, tidak hanya sepeda motor, tetapi juga bus. Syaratnya satu, harus memiliki fasilitas. Artinya, dia harus punya pabrik di Indonesia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Menperin memperkirakan, realisasi penanaman modal dan kontribusi ekspor di sektor industri masih tumbuh signifikan.
Optimisme ini berdampak pada penyerapan tenaga kerja di tengah kondisi menurunnya pesanan global saat ini.
“Masuknya sejumlah investasi di beberapa sektor diharapkan bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional,” tuturnya.
Realisasi investasi dari industri manufaktur diperkirakan akan mencapai Rp 450 hingga 470 triliun pada tahun 2023, naik 7% dibandingkan tahun ini yang diproyeksi sebesar Rp 439,33 triliun.
Seiring dengan itu, nilai ekspor industri pengolahan nonmigas pada 2022 diproyeksikan mencapai US$ 210,38 miliar dan pada 2023 ditargetkan sebesar US$ 225-245 miliar. Selain itu, peningkatan investasi di sektor industri juga akan mendongkrak serapan tenaga kerja.
Pada tahun 2022, total serapan tenaga kerja diperkirakan mencapai 19,11 juta orang, sedangkan pada 2023 sebanyak 19,2-20,2 juta orang.
“Oleh karena itu, pemerintah bertekad untuk memperkuat hilirisasi di sektor industri manufaktur. Sebab, selama ini telah memberikan bukti nyata terhadap multiplier effect bagi perekonomian nasional, antara lain adalah meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri, menarik investasi masuk di tanah air, menghasilkan devisa besar dari ekspor, dan menambah jumlah serapan tenaga kerja,” ujar Menperin.
No Comments