BRIEF.ID – Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Filda Citra Yusgiantoro PhD menyatakan, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengembangkan bioetanol agar Indonesia tidak tergantung pada penggunaan bahan bakar fosil. Langkah strategis diperlukan untuk mewujudkan ketahanan energi nasional di masa mendatang.
“Pengembangan bioetanol menjadi langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan energi nasional, sekaligus mendukung diversifikasi energi terbarukan,” kata Filda saat membuka The Ensight bertema “Bioetanol dan Dampaknya terhadap Ketahanan Energi Nasional” di Gedung PYC, Jalan Bulungan 22, Jakarta Selatan, Sabtu (7/12/2024).
Acara yang dipandu peneliti PYC, Hidayatul Mustafidah, menghadirkan pembicara, yaitu Koordinator Program Studi Energi dan Lingkungan Berkelanjutan di Swiss German University Dr Ing Evita H. Legowo, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina New & Renewable Energy Fadli Rahman PhD, dan Wakil Dekan FMP Universitas Pertahanan (Unhan) Dr Helda Risman MHan.
Filda mengungkapkan, produksi bioetanol dapat mengurangi ketergantungan negeri ini pada penggunaan bahan bakar fosil dan memperkuat komitmen Indonesia pada energi yang lebih berkelanjutan.
Pada kesempatan itu, Filda secara khusus menyoroti tentang pentingnya mengakselerasi pemanfaatan bioetanol di Indonesia.
“Pengembangan bioetanol tidak hanya menjadi solusi energi, tetapi juga membuka peluang inovasi pada sektor pertanian melalui diversifikasi bahan baku, seperti sorgum dan mikroalga. Ini akan memastikan keberlanjutan tanpa mengganggu ketersediaan pangan nasional,” kata Filda.
Saat ini, produksi bioetanol di Indonesia sekitar 40 ribu kiloliter (KL) per tahun. Target pemerintah pada tahun 2030 adalah 1,2 juta KL, yang diharapkan dapat mengurangi impor BBM sebesar 60%, khususnya untuk jenis bensin, yang mencapai 35,8 juta KL pada tahun 2022.
Data Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menunjukkan penurunan produktivitas pada tahun 2023 menjadi 70,7 ton per hektare tebu. Bahkan, saat ini produktivitasnya jauh lebih rendah dibanding level tertinggi pada tahun 2010 yang mencapai 81,8 per ha. (nov)