BRIEF.ID – Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi salah satu masalah yang kini menghantui dunia pendidikan tinggi, khususnya bagi mahasiswa. Terkait hal itu, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) punya solusi, di mana pendidikan harus dibangun secara bergotong royong sehingga mencegah mahasiswa berhenti kuliah karena masalah biaya.
Dekan FEB UI Teguh Dartanto mengatakan pihaknya ingin membangkitkan kembali semangat gotong royong sehingga dapat saling membantu menghadirkan tempat belajar yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat di Indonesia.
FEB UI berkomitmen tidak boleh ada satupun mahasiswa yang tidak bisa meneruskan sekolah karena alasan biaya. Hal tersebut merupakan upaya untuk menciptakan, memberikan kesempatan, yang setara dan seluas-luasnya kepada seluruh elemen anak bangsa untuk sekolah di FEB UI dan menjadikan FEB UI rumah bagi semua.
“Bahkan banyak mahasiswa di sini yang juga termasuk penerima program Kartu Indonesia Pintar. Ini sesuai dengan prinsip kami yaitu inklusi. Bahwa pendidikan berkualitas itu untuk semua kalangan. Gotong royong ini mungkin terlewatkan dalam narasi besar membangun UKT. Jadi semangat gotong royong di dunia pendidikan seperti ini sudah dilupakan banyak orang,” ujar Teguh.
Menurutnya, terkait UKT pemerintah sudah mengeluarkan acuan melalui Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) No 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.
Teguh menilai, aturan terbaru tersebut memberikan guidance yang lebih baik dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Aturan itu pun mengatur batas atas penetapan UKT berdasarkan student unit cost. “Namun yang terjadi beberapa universitas berlomba-lomba untuk menaikkan UKT sampai batas atas, sehingga ini yang diresahkan oleh masyarakat,” tuturnya.
Adapun batas atas yang ditetapkan peraturan pemerintah tersebut sebenarnya di bawah standar FEB UI. Pada 2023, UKT di FEB UI maksimal adalah Rp17,5 juta per semester.
Di sisi lain, mengacu regulasi anyar tersebut batas atas UKT S1 di FEB UI pun ditekan menjadi Rp14,65 juta. Teguh pun mengatakan, ada pula mahasiswa yang dikenai UKT Rp500 ribu atau Rp1 juta setiap semester. Hal ini akan bergantung dengan pendapatan juga penjelasan terkait kondisi orang tua/penanggung biaya, dan mengacu pada surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak orang tua mahasiswa terkait.
Oleh karena itu, FEB UI mengalihkan beban biaya dengan proaktif mencari sumber pendanaan lain untuk mengompensasi penurunan UKT, dan mensubsidi mahasiswa yang dikenakan biaya pendidikan rendah. Seperti melalui kelas khusus internasional dan kelas pasca sarjana.
FEB UI juga bekerja sama dengan stakeholder terkait seperti perusahaan-perusahaan besar melalui program corporate social responsibility (CSR). Ada pula orang tua mahasiswa yang mampu di-charge sesuai dengan kemampuannya untuk membantu mahasiswa dari keluarga yang berpenghasilan rendah.
Selain itu, FEB UI pun kerap berkolaborasi dengan alumni untuk membantu persoalan biaya pendidikan ini, sehingga kualitas pendidikan tetap terjaga. Hal tersebut adalah spirit FEB UI, di mana pembangunan pendidikan tinggi sifatnya bergotong royong.
Adapun dalam penetapan UKT, pihaknya selalu melibatkan stakeholder khususnya mahasiswa. Mahasiswa turut aktif melakukan verifikasi data, sehingga keringanan UKT layak diberikan kepada yang membutuhkan.
Teguh mengakui, hal itu tidaklah mudah. Butuh usaha yang luar biasa untuk mengedukasi setiap stakeholder agar bersama bergerak. “Tapi saya yakin bisa, bahwa kita harus berangkat dari sebuah values bagaimana membangun dunia pendidikan ini,” kata Teguh.
Dia pun berharap semangat gotong royong membangun pendidikan tinggi ini bisa diadopsi dan menjadi solusi dari masalah yang sama di perguruan tinggi lainnya. Pasalnya, gotong royong merupakan strategi yang harus di kedepankan dalam menghadapi kompetisi global saat ini. Setiap universitas, kata dia, harus mau berbicara dengan mahasiswa atau mendengarkan stakeholder.
Ini agar jangan sampai sebuah kebijakan sifatnya top-down tanpa konsultasi publik dengan baik. Kemudian perguruan tinggi perlu konsisten memberikan edukasi terkait kepada stakeholder yang bahkan sifatnya jangka panjang.
“Kerja sama dengan stakeholder untuk membantu dan saudara atau adik kita yang memiliki keterbatasan ekonomi agar tetap bisa sekolah, saya rasa sifat orang Indonesia itu selalu berusaha ingin membantu. Hal itu bisa menyelesaikan masalah, tapi memang butuh effort yang luar biasa,” ucap Teguh optimistis.
Saran Bagi Pemerintah
Tak lupa, sebagai akademisi Teguh pun berharap pemerintah harus sering melakukan dialog publik. Ini sebagai solusi dari masalah UKT yang tinggi dan bisa mencegah universitas-universitas ‘ugal-ugalan’ dalam menetapkan UKT dengan hanya mematok batas atas.
Pemerintah pun dapat memonitor universitas untuk bisa mengeluarkan student unit cost masing-masing. Dengan demikian pemerintah dapat menghitung dan memadankan antara student unit cost yang dimiliki oleh Kemendikbudristek dan juga yang ada di universitas terkait.
“Jadi bisa ditetapkan batasnya ada di mana. Nanti masing-masing universitas UKT-nya akan berbeda-beda. Tidak bisa langsung men-charge mentok sampai yang paling maksimal. Dan satu hal lagi, pemerintah harus membangun sebuah iklim agar perguruan tinggi negeri (PTN) tidak menambahkan jumlah penerimaan mahasiswa baru secara masif besar-besaran untuk meningkatkan pendapatan,” ungkap Teguh. Hal tersebut, kata dia, secara jangka panjang bisa mematikan universitas swasta. Menurutnya, universitas negeri dan swasta harus sama-sama maju berkolaborasi membangun dunia pendidikan tinggi.
No Comments