BRIEF.ID – Perekonomian Indonesia tengah berada dalam bayang-bayang pelemahan daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi tumbuh terbatas. Dengan kenaikan suku bunga dan masih tingginya tingkat inflasi bahan pangan, masyarakat pun akan cenderung semakin mengencangkan ikat pinggang.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,11 persen secara tahunan. Struktur produk domestik bruto (PDB) Indonesia menurut pengeluaran masih didominasi oleh konsumsi rumah tangga dengan porsi mencapai 54,93%. Komponen pembentuk PDB lainnya, antara lain pembentukan modal tetap bruto sebesar 29,31%, ekspor barang dan jasa sebesar 21,37%, konsumsi pemerintah sebesar 6,25% serta lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) sebesar 1,43%.
Pada Kuartal I-2024, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,91% secara tahunan terutama ditopang oleh momentum Ramadhan dan persiapan Lebaran. Selain itu, komponen LPNRT dan konsumsi pemerintah tumbuh signifikan, masing-masing sebesar 24,29% dan 19,9% seiring pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), serta pemberian tunjangan hari raya (THR).
Meski masih lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal I dan IV 2023, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di bawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5%. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga acuan pada Oktober 2023 menjadi 6% dan peningkatan harga komoditas pangan yang menyebabkan tekanan terhadap daya beli masyarakat.
Selama momentum Ramadhan atau periode Maret 2024, komoditas pangan bergejolak memberikan andil terbesar terhadap inflasi yang secara tahunan tercatat sebesar 3,05%. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kecuali 2022, inflasi Ramadhan 2024 tergolong lebih tinggi.
Harga Bergejolak
Adapun inflasi harga bergejolak pada Maret 2024 tercatat 10,33% secara tahunan atau tertinggi sejak Juli 2022 yang mencapai 11, 47%. Selain itu, inflasi beras pada Maret 2024 turut mencetak rekor tertinggi sejak Februari 2011 yang kala itu mencapai 23,34% secara tahunan.
Peneliti ekonomi makro dan keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama mengatakan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga menjadi terbatas sekalipun ada momentum Ramadhan, persiapan Lebaran, serta belanja pemerintah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh inflasi bahan pangan sehingga merambat ke harga-harga lainnya dan mengakibatkan daya beli masyarakat tergerus.
Tekanan terhadap daya beli masyarakat tersebut, antara lain tercermin dari pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada Kuartal I-2024, realisasi PPN tercatat Rp 155,8 triliun atau 19,2% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 185,7 triliun atau 25% dari target APBN.
“Pendapatan PPN menurun cukup dalam merefleksikan adanya penurunan daya beli masyarakat yang sejalan dengan data BPS. Masyarakat menahan konsumsi, terutama kelas berpendapatan menengah yang tidak mendapatkan bantalan sosial,” jelas dia dalam diskusi daring, Selasa (7/5/2024).
Tergerusnya daya beli kelas menengah juga tercermin dari data Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) Maret 2024. Rasio rata-rata pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume rasio) pada Maret 2024 sebesar 73% atau turun dibandingkan Maret 2023 yang sebesar 75,7%. Turunnya rata-rata pendapatan konsumen untuk konsumsi tersebut terjadi hampir di seluruh kelompok pengeluaran, kecuali kelompok pengeluaran Rp 1-2 juta.
Sementara itu, rasio pendapatan konsumen yang dialokasikan untuk tabungan (saving to income rasio) meningkat dari 15,5 persen pada Maret 2023 menjadi 17% pada Maret 2024. Peningkatan tersebut terjadi pada kelompok pengeluaran Rp 3,1-4 juta dan Rp 2,1-3 juta. Di sisi lain, alokasi tabungan kelas menengah lainnya, yakni kelompok pengeluaran Rp 4,1-5 juta turun sebesar 2,4%.
Hal ini mencerminkan, sebagian kelas menengah memilih untuk mengurangi alokasi belanja dan lebih memilih untuk menabung. Namun, ada pula kelas menengah yang telah mengurangi alokasi belanja, namun tetap belum bisa optimal menyimpan uangnya. (Kompas.id)
No Comments