BRIEF.ID – Ekonomi Indonesia mengalami deflasi 0,37% secara bulanan atau month-to-month (mtm) pada Mei 2025. Hal ini menjadi pertanda daya beli masyarakat semakin lesu.
Pada Senin (2/6/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) untuk pertama kalinya menggabungkan rilis data Indeks Harga Konsumen (IHK), inflasi, dan neraca perdagangan.
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menyampaikan, secara tahunan atau year-on-year (yoy), ekonomi Indonesia mengalami inflasi sebesar 1,60%. Sedangkan sepanjang tahun ini atau year-to-date (ytd), terjadi inflasi sebesar 1,19%.
“Kelompok pengeluaran penyumbang terbesar inflasi Mei 2025 adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan yang mengalami inflasi -1,40% dan andil deflasi sebesar 0,41%,” kata Pudji, di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Menurut dia, komponen inti inflasi, yang mencerminkan tren jangka panjang tanpa mempertimbangkan harga-harga yang bergejolak, tercatat sebesar 0,08% (mtm), 2,40% (yoy), dan 1,18% (yoy).
Pudji menyampaikan, data komponen inti inflasi tersebut menunjukkan tekanan inflasi inti tetap terjaga dan mencerminkan stabilitas harga dalam jangka menengah.
Menanggapi hal itu, Bhima Yudistira, Ekonom dari Center of Law and Economic Studies (Celios), mengatakan deflasi pada Mei 2025 justru menjadi pertanda daya beli sedang lesu.
Hal itu, bukan dipengaruhi oleh penurunan daya beli pascalebaran, karena deflasi terjadi justru pada kelompok kebutuhan sehari-hari masyarakat, yakni makanan, minuman, dan tembakau (rokok).
“Makanan, minuman, tembakau turunnya sampai -1,4% secara bulanan (mtm). Ini sudah lampu kuning ada gejala pertumbuhan ekonomi melambat di kuartal II 2025,” kata Bhima.
Dia mengungkapkan, deflasi 0,37% yang terjadi pada Mei 2025 harus diwaspadai, karena melampaui prediksi atau konsensus pasar yang hanya sebesar 0,14%.
Selain itu, inflasi sebesar 1,60% secara tahunan pada Mei 2025 juga lebih rendah ketimbang prediksi pasar yang memperkirakan sebesar 1,9%.
Jika kondisi daya beli masyarakat yang rendah terus berlanjut dan mempengaruhi motor permintaan, lalu berimbas pada produksi dan kinerja perusahaan, maka ancaman berikutnya adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
“Kalau tidak segera diantisipasi, PHK massal akan semakin masif di semester II tahun ini,” ujar Bhima. (jea)